Jubir JASA Nilai Pemerintah Belum Maksimal Lanjutkan Semangat Perdamaian MoU Helsinki
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
M. Datul Abrar, Juru Bicara Jaringan Aneuk Syuhada Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Setiap tanggal 15 Agustus, masyarakat Aceh memperingati perjanjian damai yang bersejarah, yang dikenal dengan MoU Helsinki.
Kesepakatan yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini telah mengakhiri konflik bersenjata yang berkepanjangan di Aceh.
Namun, hampir dua dekade kemudian, pertanyaan mengenai keberlanjutan semangat perdamaian yang dicetuskan dalam MoU Helsinki masih menjadi isu krusial di kalangan masyarakat dan pemerhati perdamaian.
M. Datul Abrar, Juru Bicara Jaringan Aneuk Syuhada Aceh (Jubir JASA), menyampaikan pandangannya yang kritis terhadap peran pejabat Aceh saat ini dalam menjaga dan melanjutkan semangat perdamaian yang tercipta dari MoU Helsinki.
Menurutnya, pemerintah Aceh belum menunjukkan komitmen yang cukup dalam menjalankan amanah tersebut.
"Peran Pemerintah saat ini bisa dikatakan masih belum cukup maksimal dan terkesan tidak serius. Hal tersebut bisa kita lihat pada proses penyelesaian konflik dan program-program pemerintah yang tidak tepat sasaran," ujar Abrar kepada Dialeksis.com, Kamis (15/8/2024).
Ia menyoroti bahwa banyak program yang seharusnya mendukung upaya perdamaian justru tidak efektif dan tidak menyentuh akar permasalahan di masyarakat.
Dalam pandangannya, upaya pemerintah Aceh ke depan haruslah lebih inklusif dan kolaboratif, melibatkan seluruh unsur dan lapisan masyarakat dalam pembuatan kebijakan.
"Kita berharap pemerintah dapat berkolaborasi dengan melibatkan segala unsur dan lapisan masyarakat dalam membuat kebijakan, untuk menghindari terjadinya konflik. Karena program berkelanjutan itu sendiri sangat penting guna menjaga kesejahteraan hidup masyarakat dan menyelamatkan lingkungan," tambah Abrar.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya langkah konkret dari pejabat Aceh untuk memastikan kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan amanah MoU Helsinki.
Salah satu poin penting yang ia angkat adalah perlunya pemerintah Aceh melakukan lobi politik dan negosiasi yang lebih kuat dengan pemerintah pusat.
"Pemerintah Aceh harus melakukan lobi-lobi politik dan negosiasi terhadap pemerintah pusat supaya poin 1.3 dalam MoU Helsinki bisa direalisasi dan diimplementasikan secara menyeluruh. Karena itu menyangkut hak ekonomi Aceh sesuai amanah MoU Helsinki," tegasnya.
Abrar juga memberikan kritik tajam terhadap kurangnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah Aceh dalam menjalankan mandat MoU Helsinki.
Menurutnya, banyak amanah dalam MoU Helsinki yang belum direalisasikan, dan beberapa di antaranya bahkan diimplementasikan namun kemudian mengalami penyusutan makna.
"Sangat tidak, banyak amanah MoU Helsinki yang sampai saat ini tidak direalisasi. Dan banyak juga yang direalisasi tapi akhirnya terbonsai satu persatu. Ini menunjukkan sikap mereka yang terkesan mengkhianati mandat MoU Helsinki itu sendiri," ungkapnya.
Abrar memberikan pesan penting kepada pejabat Aceh terkait komitmen mereka dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Aceh di masa depan.
Ia menekankan bahwa pemerintah harus serius dalam mengimplementasikan nilai-nilai MoU Helsinki agar perdamaian di Aceh dapat terus terjaga.
Ia mengingatkan pemerintah supaya serius dalam mengimplementasikan poin dan nilai-nilai MoU Helsinki. Jangan sampai nasib MoU Helsinki sama dengan ikrar Lamteh.
Karena jika terus berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan konflik akan terjadi lagi. Maka yang terpenting, pemerintah pusat mau merealisasikan MoU Helsinki dengan penuh keikhlasan, supaya perdamaian bisa terus terjaga dengan baik.
Ia khawatir akan masa depan Aceh pasca-MoU Helsinki. Peringatan hari perjanjian damai ini bukan hanya menjadi momentum refleksi, tetapi juga sebagai panggilan untuk aksi nyata dari semua pihak yang berkepentingan.
"Khususnya pemerintah Aceh, untuk menjaga dan melanjutkan semangat perdamaian demi kesejahteraan masyarakat Aceh yang berkelanjutan," pungkasnya. [nh]