kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Kadis P3A Aceh: Ekonomi, Pendidikan, Medsos Jadi Penyebab Kekerasan Perempuan dan Anak

Kadis P3A Aceh: Ekonomi, Pendidikan, Medsos Jadi Penyebab Kekerasan Perempuan dan Anak

Rabu, 14 Februari 2024 16:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ratnalia

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh Meutia Juliana membahas kekerasan seksual pada perempuan dan anak di Aceh dalam Podcast YBHA Peutuah Mandiri. [Foto: Tangkapan Layar Youtube]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana SSTP MSi mengungkapkan penyebab utama kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh, yaitu ekonomi yang rendah, pendidikan yang rendah, dan media sosial (medsos) yang tidak terfilter.

“Selain itu, penyebabnya karena ada relasi kuasa antara pelaku dan korban dalam keluarga,” sebut Meutia Juliana, yang dikutip dari Podcast YBHA Peutuah Mandiri, Selasa (13/2/2024).

Dirinya juga menyebutkan Aceh yang masih kental dengan budaya patriarki berefek pada relasi kuasa antara pelaku dan korban. pelaku menganggap korban ada di bawah levelnya, sehingga korban itu lemah dan tidak berdaya.

"Korban merasa ketakutan untuk bisa melawan, untuk bisa melapor. Jangan melawan, melapor saja dia takut. Ada perasaan yang dia terima itu adalah aib," ucap Meutia.

Meutia mengungkapkan, sejumlah penyebab tersebut berdasarkan pengalaman DP3A Aceh menangani korban kekerasan selama ini.

Kadis P3A Aceh itu pun menyampaikan sejumlah kasus kekerasan yang tercatat. Pada tahun 2023 untuk kasus pemerkosaan sebanyak 27 kasus, dan pelecehan seksual ada 31 kasus.

Untuk KDRT juga tinggi, yakni tahun 2021 ada 456, pada 2022 ada 458, dan pada 2023 ada 464 kasus.

“Memang kenaikannya hanya satu dua, tapi ini tetap mengkhawatirkan, karena ini seperti fenomena gunung es. Mungkin masih banyak kekerasan yang terjadi, tapi masyarakat tidak berani melaporkan,” ucap Kadis P3A Aceh.

Sedangkan, kasus terkait anak yang tercatat dalam DP3A Aceh, yaitu kasus sodomi. Tahun 2021 ada 468, tahun 2022 ada 571 kasus, dan 2023 ada 634 kasus.

“Data ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai berani, tapi juga jadi mengkhawatirkan karena banyaknya kasus sodomi. Sehingga kita harus lebih sadar, lebih memperhatikan lingkungan, jangan abai dan membiarkan kekerasan terjadi

Ia juga mengajak masyarakat untuk berani melapor jika melihat atau menerima kekerasan, karena DP3A Aceh mempunyai SOP terkait laporan kekerasan.

“Karena mencegah kekerasan ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh DP3A Aceh, tapi kolaborasi dengan semua pihak,” tandas Kadis Meutia Juliana. [ra]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda