KAPHA Aceh Apresiasi DPR RI Sahkan UU TPKS
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan Aluebilie. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Selasa (12/4/2022).
Penantian ini sudah ditunggu selama 6 tahun oleh masyarakat. Harapannya dengan disahkannya UU TPKS ini bisa memberikan payung perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Direktur Koalisi Advokasi dan Pemantau Hak Anak (KAPHA) Aceh, Taufik Riswan Aluebilie mengapresiasi kinerja DPR RI yang telah mengesahkan UU TPKS.
Menurutnya, advokasi bersama RUU PKS, menjadi Draft Final TPKS adalah proses panjang, hampir 6 tahun. Seluruh masyarakat Indonesia, terutama perempuan dan anak, menunggu lahirnya Undang-undang ini.
“Dengan disahkannya Undang-Undang TPKS ini, kita patut bersyukur. Sebagaimana kita ketahui, UU TPKS ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Rabu (13/4/2022).
Ia menambahkan, UU TPKS juga untuk melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku. Mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Secara umum dalam RUU TPKS terdapat pengaturan 9 jenis TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik serta TPKS lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pasal bridging dengan KUHP dan Undang-Undang lainnya.
“Perkara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. RUU TPKS juga melakukan pembaruan hukum acara sebelum, selama dan setelah proses hukum,” terangnya.
Terobosan di dalam RUU ini juga terlihat pada pengaturan pelayanan terpadu terhadap korban yang dilakukan secara komprehensif oleh Pemerintah, penegak hukum dan layanan berbasis masyarakat.
“Pengaturan ini salah satunya diharapkan memberikan implikasi positif terhadap percepatan penanganan dan menghapuskan reviktimisasi pada korban,” tambahnya.
Dalam RUU TPKS, kata dia, negara hadir memenuhi hak korban atas dana pemulihan termasuk layanan kesehatan saat korban mendapat perawatan medis, dana penanganan korban sebelum, selama dan setelah proses hukum, termasuk pembayaran kompensasi untuk mencukupi sejumlah restitusi ketika harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup.
Tidak hanya itu, RUU TPKS juga menjamin pemberian upaya pencegahan dan penanganan di wilayah-wilayah 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal), daerah konflik, daerah bencana dan di semua tempat yang berpotensi terjadinya TPKS.
Pengaturan tentang partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS, serta partisipasi keluarga dalam Pencegahan TPKS juga diatur dalam RUU TPKS.
Menurut Taufik, RUU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran negara untuk melindungi warga negara dari kekerasan seksual. Ini adalah penantian korban, penantian semua masyarakat.
“Jadi kepentingan korbanlah yang akan kami pastikan terdepan dalam pelaksanaan Undang-Undang ini. Untuk itu, kami membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak,” tutupnya.
Saat ini, posisi Qanun Jinayah sedang direvisi. Tentunya ini menjadi momen yang tepat agar di dalam Qanun Jinayah hasil revisi nanti bisa mengakomodasi berbagai Pasal yang bagus dari UU TPKS.
Hal itu, menjadi peluang untuk Aceh dalam memperbaiki kualitas Qanun Jinayah, terutama dalam penegakan keadilan bagi Perempuan.
Taufik menerangkan rencana revisi Qanun Jinayah adalah sebuah upaya aktif dan simpatik pada kesetaraan dan keadilan, serta penghormatan pada kepentingan terbaik korban, terutama perempuan dan anak.
“Karena dalil yuridisnya adalah untuk menghadirkan hukum yang lebih baik, dalam merespon berbagai bentuk kekerasan seksual yang korbannya adalah perempuan dan anak,” pungkasnya. [NOR]