Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Lhokseumawe Meningkat, Akibat Game Online dan Perselingkuhan
Font: Ukuran: - +
Reporter : Gita
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: Net
DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Lhokseumawe mencatatkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang memprihatinkan pada tahun 2024.
Dari Januari hingga November 2024, tercatat sebanyak 69 kasus kekerasan yang melibatkan dua kelompok rentan ini.
Kepala DP3AP2KB Lhokseumawe, Salahuddin, mengungkapkan bahwa dari total kasus tersebut, 34 kasus di antaranya menimpa perempuan. Kasus-kasus itu terdiri dari empat penganiayaan, empat pelecehan seksual, tiga penelantaran, satu pemerkosaan, dan 22 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sementara itu, 35 kasus lainnya terkait dengan kekerasan terhadap anak, yang terdiri dari 13 kasus kekerasan fisik, tiga kasus kekerasan psikis, satu pelecehan seksual, tiga penelantaran, tujuh pemerkosaan, serta tujuh kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH).
Menurut Salahuddin, penyebab utama tingginya kasus kekerasan ini sangat beragam, namun ada dua faktor yang mendominasi.
“Di kalangan perempuan, penyebab utama kekerasan sering kali berkaitan dengan faktor ekonomi, perselingkuhan, serta dampak negatif dari game online. Sementara itu, untuk kekerasan terhadap anak, masalah kurangnya kepedulian masyarakat sekitar sangat berpengaruh,” jelasnya dalam wawancara via telepon pada Selasa (17/12).
Lebih lanjut, Salahuddin menambahkan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak seringkali berasal dari orang-orang terdekat korban, yang seharusnya memberikan perlindungan dan perhatian. Hal ini semakin memperburuk kondisi anak-anak yang rentan menjadi korban.
Dalam penanganannya, DP3AP2KB Lhokseumawe bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memberikan pendampingan psikologis kepada korban. Selain itu, untuk memastikan korban merasa aman, mereka menyediakan rumah aman sementara meskipun fasilitas resmi pemerintah untuk rumah aman belum tersedia.
"Kami harus menyewa tempat penginapan jika korban membutuhkan tempat yang aman. Namun, kami juga mengalami keterbatasan SDM, terutama psikolog, yang terkadang harus dipanggil dari luar kota," tuturnya.
Untuk mengurangi angka kekerasan, Salahuddin mengimbau masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, khususnya di tingkat desa.
"Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban. Salah satunya adalah dengan membentuk sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dapat meningkatkan kewaspadaan," tambahnya.
Salahuddin juga menekankan pentingnya pola asuh yang baik dalam keluarga sesuai dengan norma yang berlaku, agar anak-anak dapat tumbuh dengan aman dan sehat, jauh dari potensi kekerasan.
"Jika bukan kita yang peduli, siapa lagi yang akan melindungi mereka?" tutupnya.