DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Forum Bangun Investasi Aceh, M. Nur, S.H menilai kehadiran negara dalam penanganan bencana di sejumlah wilayah Sumatera belum sepenuhnya mampu mengembalikan kewibawaan bangsa. Meski negara telah hadir melalui berbagai aksi nyata di lapangan, upaya pemulihan dinilai masih jauh dari harapan masyarakat terdampak.
Sejumlah kementerian dan lembaga negara sebenarnya telah melakukan berbagai langkah cepat. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi menyalurkan bantuan biaya hidup senilai Rp17 miliar bagi mahasiswa dan dosen terdampak. Bantuan tersebut diberikan kepada 15.833 mahasiswa PIP, 3.100 mahasiswa ADik, dan 554 dosen, di mana mahasiswa menerima Rp1.250.000 per bulan selama tiga bulan dan dosen Rp4.500.000 per bulan selama dua bulan
Di sektor infrastruktur dasar, Kementerian Pekerjaan Umum tengah memulihkan sistem penyediaan air minum dan sanitasi. Di Aceh Tamiang, pembangunan tiga SPAM sedang diproses dan ditargetkan selesai dalam tiga bulan. Selain itu, 334 unit sarana sanitasi sementara telah disalurkan, serta pengerahan 1.130 personel dan 872 alat berat di tiga provinsi. Kementerian PU juga mencatat kebutuhan sekitar 69 jembatan Bailey untuk membuka kembali akses transportasi masyarakat.
Sementara itu, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman telah memulai pembangunan hunian tetap (huntap) sebagai solusi jangka panjang. Pada tahap awal, 2.603 unit rumah ditargetkan terbangun, dengan realisasi awal meliputi 118 unit di Tapanuli Tengah, 200 unit di Kota Sibolga, dan 103 unit di Tapanuli Utara.
Untuk sektor energi, Kementerian ESDM melaporkan bahwa hingga 18 Desember 2025, 274.419 dari 274.564 pelanggan terdampak di Sumatera Barat telah kembali menikmati aliran listrik, sementara 145 pelanggan masih mengalami pemadaman di wilayah Jorong Lambeh (FCO Tulang Gajah Tinggi).
M. Nur mengatakan, sejak awal bencana, negara telah mengerahkan TNI dan Polri untuk membuka akses distribusi bantuan, melakukan pembersihan wilayah terdampak, serta menurunkan alat berat dari Kementerian Pekerjaan Umum dan instansi strategis lainnya.
"Kehadiran Polri yang tidak hanya tampak secara fisik di lapangan, tetapi hadir dengan kemampuan mengatur, mengendalikan, dan menyelesaikan persoalan secara cepat, disertai kepedulian terhadap penderitaan masyarakat serta ketepatan dalam setiap pengambilan keputusan," jelasnya.
Jajaran Polri yang tidak terdampak bencana secara langsung juga diwajibkan membantu Polres yang terdampak, baik melalui pengerahan personel, logistik, maupun dukungan operasional lainnya. Bantuan tersebut tidak harus besar, namun harus nyata dan berkelanjutan sebagai wujud empati dan solidaritas institusi.
“Itu menunjukkan negara hadir dalam penanggulangan bencana Sumatera,” kata dia.
Namun, hampir satu bulan pascabencana, kondisi di lapangan masih membutuhkan kerja ekstra. Menurutnya, kehadiran negara belum dirasakan optimal oleh masyarakat.
“Masyarakat menginginkan penyelesaian cepat, terutama soal perumahan, pemulihan sawah agar kembali produktif, pembangunan dan perbaikan akses jalan, serta jaminan ekonomi bagi warga yang terdampak,” ujarnya.
Ia menegaskan penanganan bencana tidak boleh dilakukan setengah-setengah. Negara harus bekerja penuh dan berkelanjutan, termasuk mempertimbangkan pencabutan sejumlah konsesi perkebunan sawit di wilayah rawan bencana seperti Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bireuen, dan Bener Meriah, yang dinilai mengalami kerusakan hutan dan lahan paling parah.
“Jika pemulihan ekonomi tidak segera dilakukan, masyarakat akan kehilangan mata pencaharian. Lahan pertanian rusak, infrastruktur lumpuh, dan ini berpotensi melahirkan masalah baru berupa kemiskinan,” kata M. Nur.
Meskipun penetapan status bencana nasional tidak lagi menjadi perdebatan, M. Nur menilai negara tetap harus menunjukkan kewibawaannya dengan memaksimalkan penggunaan dana APBN dan dukungan pemerintah pusat.
“Daerah memiliki keterbatasan anggaran,” ujarnya.
Ia menegaskan anggapan bahwa negara belum bekerja adalah keliru. Menurutnya, kehadiran kepala daerah, TNI, dan Polri di lapangan merupakan bukti negara telah hadir.
“Ribuan personel bekerja siang dan malam, dan itu patut diapresiasi,” katanya.
Namun demikian, M. Nur mengingatkan pemerintah agar tidak bersikap reaktif terhadap kritik publik. Negara, kata dia, harus terus bekerja dan menyampaikan progres penanganan bencana secara terbuka kepada masyarakat.
“Jangan sampai negara baru bergerak setelah kritik keras muncul. Negara harus bekerja cepat, konsisten, dan transparan agar kehadirannya benar-benar dirasakan,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa penanganan bencana Sumatera merupakan tanggung jawab negara sepenuhnya untuk memulihkan kehidupan masyarakat terdampak dan menjaga kewibawaan bangsa.