Kejari Lhokseumawe Diminta Usut Tuntas Dugaan Proyek Fiktif Senilai Rp 4,9 Miliar
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Ketua BEM FH Unimal, Muhammad Fadli [For Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Kota Lhokseumawe melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah membangun Pengamanan pantai Cunda - Meuraksa dari tahun 2015-2020.
Menurut informasi yang bisa diakses di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Lhokseumawe Pembangunan Pengaman pantai Cunda - Meuraksa tersebut di mulai sejak Tahun 2015 dengan penganggaran sebesar 12,9 miliar.
Kemudian berlanjut di tahun yang sama yaitu 2015 untuk pengawasan lanjutan dianggarkan sebesar 257,3 juta, sedangkan tahun 2016 dianggarkan kembali 12,9 miliar, ditambah lagi 185,4 juta di tahun 2016, kemudian dilanjutkan pada tahun 2019 anggaran sejumlah 6,8 miliar dengan keterangan (tuntas),
Namun, di LPSE Kota Lhokseumawe pada tahun 2020 muncul kembali pengadaan Proyek untuk Pembangunan pengamanan pantai Cunda - Meuraksa sejumlah 4,9 miliar.
Hasil penelusuran dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Proyek Tahun Anggaran (TA) tahun 2020 tersebut sudah dibayarkan kepada rekanan pemenang Proyek tersebut atas nama PT. Putra Perkasa Aceh yang penanggungjawabnya adalah Mukhlis Takabeya oleh Dinas PUPR Kota Lhokseumawe dengan bukti Surat Perintah Membayar (SPM) tertanggal 22 Desember 2020.
Namun, diduga pengerjaan proyek tersebut tidak dilaksanakan, sehingga kasus tersebut sudah masuk tahap penyelidikan di bagian Intel Kejari Lhokseumawe dan bahkan sudah dipanggil beberapa orang dari Dinas PUPR Lhokseumawe untuk dimintai keterangan.
Sementara itu, menurut informasi terakhir PT. Putra Perkasa Aceh sebagai rekanan proyek pengaman pantai Cunda-Meuraksa, sumber dana Otsus tahun anggaran 2020 dikabarkan telah mengembalikan anggaran kegiatan tersebut ke Kas Daerah Pemerintah Kota Lhokseumawe, Kamis, (21/01/2021).
Perusahaan itu mengembalikan dana sesuai jumlah yang diterima dari Pemerintah Kota Lhokseumawe pada TA 2020. Sedangkan konsultan pengawas dilaporkan akan mengembalikan dana pengawasan proyek itu ke Kas Daerah Pemerintah Kota Lhokseumawe pada Senin, (25/1/2021) mendatang.
Menanggapi hal itu, Muhammad Fadli Demisioner Ketua BEM Hukum Unimal yang saat ini menjadi Ketua HML Komisariat Hukum Unimal dalam keterangan tertulis yang diterima Dialeksis.com, Senin (25/1/2021).
Pihaknya meminta Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe harus mengusut tuntas kasus indikasi korupsi 4,9 miliar tersebut meskipun Dana dari Proyek tersebut sudah dikembalikan.
Fadli mengatakan, Kejari Lhokseumawe harus mengikuti Intruksi Presiden dan Kejagung RI terkait komitmen dalam melakukan Pemberantasan korupsi di Indonesia, Kasus Tindak Pidana korupsi merupakan Extra Ordinary Crime (Kejahatan yang luar biasa) sehingga pelakunya bisa dijatuhkan Hukuman mati.
Korupsi salah satu faktor terbesar yang membuat Rakyat Indonesia terus di ambang kemiskinan dan membuat Negara Indonesia sulit menjadi Negara Maju, Pelaku Tindak Pidana korupsi harus mendapatkan Punishment (Hukuman).
Karena perbuatan tersebut sudah mengamputasi hak-hak masyarakat sehingga apabila pelaku Tindak Pidana Korupsi tidak diberikan hukuman maka perbuatan korupsi akan semakin masif dan merajalela kedepannya.
"Kita bisa lihat sampai saat ini Kota Lhokseumawe masih menjadi salah satu daerah dengan posisi teratas kasus kemiskinan dan sulitnya lapangan kerja, salah satu faktornya karena Pejabatnya yang Koruptif,” ujarnya.
Menurut Fadli, masyarakat saat ini matanya sedang tertuju pada Kejari Lhokseumawe untuk berlaku adil dan mengimplementasikan Azas Equality Before The Law (Persamaan Hak di Muka Hukum), yang intinya tidak hanya masyarakat biasa yang diberikan Punishment ketika melanggar hukum, namun pejabat juga akan diperlakukan sama apabila melakukan pelanggaran hukum.
Fadli menjelaskan, secara prinsip hukum apabila unsur-unsur tindak pidana korupsinya sudah terpenuhi, meskipun uang indikasi korupsi tersebut dikembalikan maka tidak bisa menggugurkan atau menghapuskan tindak pidana korupsi itu.
Karna itu merupakan delik formil, Relevansi antara pengembalian uang hasil korupsi terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan (terhadap pelaku) dijelaskan dalam pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta penjelasannya.
Dalam pasal 4 tersebut dinyatakan antara lain bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3.
Kemudian, di dalam penjelasan pasal 4 UU 31/1999 Jo. UU 20/2001 dijelaskan sebagai berikut:
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.
Saat dikonfirmasi ulang Dialeksis.com, pihaknya saat ini meletakkan kepercayaan besar pada Kejari Lhokseumawe untuk mengusut tuntas dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Pengaman Pantai Cunda - Meuraksa Sejumlah 4,9 miliar TA 2020 tersebut.
"Kami yakin Kejari Lhokseumawe akan bersikap objektif dan profesional sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada, sembari masyarakat dan mahasiswa terus memantau proses yang sedang berlangsung ini," tutup Fadli.
Pihaknya, berharap banyak kepada Kejari dan harus diusut tuntas jangan sampai ini menjadi contoh untuk pejabat-pejabat lainnya di kota Lhokseumawe. Karena suatu tindakan korupsi tanpa ada hukuman ataupun efek jera, maka korupsi di daerah lain akan semakin merajalela.
- Rektor Herman dan Kajari Teuku Rahmatsyah, Dua Sahabat Bertemu di Kota Medan
- Dugaan Korupsi Dana Desa Hingga Rp 15 Miliar, GeRAK Aceh Barat Sarankan Ini
- Dugaan Korupsi Dana Desa Sejumlah Kades di Aceh Barat Hingga Rp 15 Miliar
- Tersandung Kasus Korupsi, Syudirman Arianto Diberhentikan Gubernur Aceh Usai Dilantik