Kemenko Polhukam Inisiasi Pertemuan Pemerintah Aceh dan Sumut Finalkan Status Empat Pulau
Font: Ukuran: - +
Asisten I Sekda Aceh Dr. M. Jafar, SH, M.Hum, saat menghadiri Forum Koordinasi dan Konsultasi dalam Rangka Pembahasan Permasalahan Status Kepemilikan Empat Pulau (Pulau Mangkir Gadang/Besar, Pulau Mangkir Ketek/Kecil, Pulau Lipan dan Pulau Panjang) di Perbatasan Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi Aceh) dengan Kabupaten Tapanuli Tengah (Provinsi Sumatera Utara) yang diselenggarakan Kemenko Polhukam, di Bali, Kamis (21/7/2022).[Dok: humas.acehprov.go.id]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menghadiri Forum Koordinasi dan Konsultasi dalam Rangka Pembahasan Permasalahan Status Kepemilikan Empat Pulau (Pulau Mangkir Gadang/Besar, Pulau Mangkir Ketek/Kecil, Pulau Lipan dan Pulau Panjang) di Perbatasan Kabupaten Aceh Singkil (Provinsi Aceh) dengan Kabupaten Tapanuli Tengah (Provinsi Sumatera Utara).
Forum ini diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan sebagai tindak lanjut dari beberapa surat yang dilayangkan oleh Gubernur Aceh, yang meminta untuk dilakukannya fasilitasi penyelesaian sengketa 4 pulau dan garis batas laut antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara.
Hadir dalam acara tersebut Tim Pusat yang terdiri dari Kemenko Marves, ATR/BPN, Pushidrosal dan BIG. Sedangkan dari Tim Aceh dihadiri Asisten 1 Sekda Aceh, Karo Pemotda, Karo Hukum, Ka DKP, Katopdam IM & Kabid survey BPN Aceh serta Asisten 1 Sekda Aceh Singkil.
Tim Sumut dihadiri Karo Pemotda, unsur DKP Sumut, dan Pj Bupati Tapteng beserta jajarannya.
Dalam Forum tersebut, Asisten I Sekda Aceh Dr. M. Jafar, SH, M.Hum menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Pusat karena telah memfasilitasi kegiatan itu dan mengharapkan penyelesaian permasalahan ini dapat diselesaikan sebijak mungkin, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sampai dengan saat ini Pemerintah Aceh telah menyurati Kemendagri terkait empat pulau. Pada tahun 2017 Gubernur Aceh meminta untuk keempat pulau tersebut agar dimasukkan dalam wilayah Aceh, kemudian pada tahun 2018 Gubernur Aceh kembali meminta kepada Mendagri untuk merevisi koordinat keempat pulau karena ada kekeliruan konfirmasi pada tahun 2009.
Hal yang sama terus dilakukan oleh Pemerintah Aceh pada tahun-tahun selanjutnya sampai dengan tahun 2022 ditetapkannya Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022.
Pasca penetapan Kepmendagri tersebut, Pemerintah Aceh Singkil menyampaikan somasi kepada Menteri Dalam Negeri, karena penetapan keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah (Provinsi Sumatera Utara). Disamping itu, Pemerintah Aceh menyampaikan keberatan terhadap Kepmendagri tersebut.
Selanjutnya Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir menjelaskan bahwa pembahasan pembakuan nama-nama pulau pada tahun 2008 dibuat secara terpisah. Pada Mei 2008 yang dilaksanakan di Medan, hanya melibatkan Pemerintah Sumut, tanpa di undang Pemerintah Aceh.
Sehingga tim Sumut memasukkan duluan 4 pulau termasuk dalam daftar konfirmasi pulau-pulau dalam wilayah Sumut.
Sedangkan, rapat di Banda Aceh dilaksanakan pada bulan November 2008, berdasarkan informasi Tim Aceh pada waktu itu yang ingin memasukkan 4 pulau tersebut dalam wilayah Aceh, namun tidak diizinkan oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi Tahun 2008, karena sudah terlebih dahulu dimasukkan oleh Sumut.
Sebagai solusi saat itu dimasukkan dalam redaksional berita acara rapat tahun 2008, yang menyepakati keempat pulau tersebut disengketakan kepemilikannya oleh Pemprov Sumut, dan Pemerintah Pusat agar segera memfasilitasi penyelesaiannya. Namun setelah pertemuan itu belum pernah difasilitasi, dan baru setelah keluar Kepmendagri tahun 2022 dilaksanakan fasilitasi yang menghadirkan kedua provinsi dan kabupaten.
Pemerintah Aceh juga menanggapi terhadap kekeliruan dalam konfirmasi nama-nama pulau tahun 2009 melalui Surat Gubernur Aceh nomor 136/30705 tanggal 21 Desember 2018, sehingga Berita Acara Rapat tanggal 30 November 2017 tidak relevan lagi dijadikan acuan dalam penyelesaian sengketa 4 pulau, apalagi rapat tersebut tidak melibatkan Pemerintah Aceh.
Selanjutnya Syakir menyampaikan bahwa dalam rapat tersebut disampaikan secara lengkap kronologis dan langkah-langkah yg telah ditempuh, termasuk memaparkan beberapa kesepakatan kedua daerah yg pernah dibuat serta hasil survey.
Kesimpulan dari paparan Tim Aceh, menurut Syakir, menyampaikan bahwa berdasarkan dokumen dan hasil survey bahwa keempat pulau, yaitu Pulau Mangkir Besar/Gadang, Pulau Mangkir Kecil/Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang adalah bagian cakupan wilayah Aceh. Ini dapat dibuktikan dari aspek hukum, aspek administrasi, aspek pemetaan, aspek pengelolaan pulau dan layanan publik yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Berdasarkan Kesepakatan Bersama antara Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh (Ibrahim Hasan) dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Raja Inal Siregar) yang disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri (Rudini) pada tanggal 22 April 1992 telah menyepakati Peta Kesepakatan Batas antara Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara, yaitu garis batasnya antara pesisir pantai Tapanuli Tengah dengan 4 pulau.
“Dengan demikian 4 pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh,” tambah Syakir.
Selanjutnya Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setdaprov. Sumatera Utara, Zubaidi, menyampaikan tetap mempedomani Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tersebut.
Direktur Toponimi dan Batas Daerah Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Sugiarto, menyampaikan bahwa Tim Pusat Bersama Tim Aceh dan Tim Sumut telah melaksanakan verifikasi factual di keempat pulau.
Dalam verifikasi tersebut ditemukan beberapa objek seperti tugu-tugu yang dibangun oleh Pemerintah Aceh serta layanan publik seperti dermaga, rumah singgah dan mushalla bagi para nelayan dan kuburan aulia yang belum diketahui silsilahnya sampai saat ini.
“Kesimpulannya, Kemendagri melakukan penetapan definitif status 4 pulau tersebut dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Batas Kewenangan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Laut Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh,” ucap Sugiarto.
Ade Komaruddin dari BIG menyampaikan bahwa yang berwenang menetapkan status pulau adalah Mendagri dan terkait dengan Keputusan Kepala BIG nomor 51 Tahun 2021 bahwa 4 pulau tersebut masih dianggap sengketa sehingga pencantuman wilayah administrasi dicantumkan Indonesia bukan dari salah satu provinsi.
Selanjutnya Kolonel Muddan dari Pushidrosal menyampaikan dasar penetapan 4 pulau tersebut milik Aceh sangat kuat apabila SKB tahun 1992 antara kedua Gubernur dan disaksikan oleh Mendagri, berdasarkan uji berkas itu benar.
Sementara menurut Direktur Pengukuran & Pemetaan Dasar Pertanahan Ruang, Ir.R. Agus Wahyudi Kushendratno, M.Eng.Sc, dokumen yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh sangat lengkap dilihat dari Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) harus menjadi pertimbangan bagi Tim Pusat, mengingat data-data tersebut tidak dimiliki oleh Tim Sumatera Utara.
Menurutnya Surat Kepala Inspeksi Agraria tentang kepemilikan pulau menjadi dokumen kunci dan harusnya dimiliki oleh Kemendagri saat ini. Terlebih Surat Keputusan Bersama Tahun 1992, kedua Gubernur telah menyepakati garis batas tersebut.
Selanjutnya, Sekretaris Deputi pada Kemenko Marves menyampaikan bahwa kedekatan 4 pulau tersebut dengan suatu wilayah tidak bisa menjadi faktor penentu pulau itu masuk dalam wilayah tersebut, seperti Christmas Island yang berdekatan dengan Jawa Barat (Indonesia) namun masuk dalam wilayah Australia.
Dalam penutupan forum tersebut, Deputi I KemenkoPolhukam, Djaka Budhi Utama, meminta kepada Kemendagri agar menyelesaikan sengketa 4 pulau tersebut secara bijak berdasarkan dokumen dan kondisi lapangan.[]