Kesbangpol Aceh Menyelenggarakan FGD tentang Pendidikan Perdamaian
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Aceh menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Pendidikan Perdamaian Aceh, Kamis (27/09).
Acara itu digunakan untuk mempertajam ide-ide yang akan dimasukkan dalam kajian-kajian perdamaian, yang kemudian akan dipublikasi sebagai buku.
Dalam pembukaan FGD, Prof. M. Hasbi Amiruddin, yang menjadi ketua Tim Pengkaji Pendidikan Perdamaian Aceh tahun 2018, menyatakan bahwa FGD ini penting dilakukan untuk mengonsolidasikan gagasan-gagasan yang dilakukan oleh tim pengkaji sekaligus tim penulis buku.
Turut hadir peserta lainnya yang terdiri dari peneliti, penerbit, aktivis LSM, dosen, dan komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diharapkan dapat memperkaya gagasan perdamaian yang kemudian bisa menjadi titik wacana dalam melihat dialektika perdamaian Aceh yang telah berjalan selama 13 tahun.
Para tim Pengkaji ada enam orang, yaitu yang menjadi koordinator program Prof. Yusni Sabi, yang menjadi ketua tim pengkaji Prof. M. Hasbi Amiruddin dan Dr. Kamaruzzaman Bustaman Ahmad sebagai sekretaris. Adapun Dr. Adli Abdullah, Teuku Kemal Fasya, dan Wiratmadinata sebagai anggota.
Wiratmadinata dalam paparan di sesi pertama lebih berkonsentrasi kepada peran ruang memorial perdamaian Aceh yang selama ini ia pimpin di Kesbangpol di Aceh yang telah hadir pada tahun kesepuluh perdamaian Aceh.
"Ruang memorialisasi ini bukan saja menjadi semacam ruang museum untuk mengingat era-era konflik di Aceh dan juga era pembelajaran baik yang bisa dikembangkan dalam wujud diskusi-diskusi dan juga kunjungan untuk saling bertukar pengalaman dengan pengunjung," ungkap Wiratmadinata.
Pada tanggapannya, salah seorang peserta Mukhlisuddin Ilyas, menegaskan bahwa hadirnya upaya untuk memberikan energi lebih pada Ruang Momerialisasi Kesbangpol ini penting untuk lebih ditingkatkan.
"Karena pada saat ini generasi milenial Aceh telah banyak mengindap keterlupaan sehingga ia tak mengerti lagi tentang sejarah perdamaian yang baru berjalan 13 tahun. Mereka generasi yang lahir pada awal milenium yang tidak merasakan bagaimana aura konflik pada akhir rezim Orde Baru sebagai kesadaran yang mereka miliki," ujar Mukhlisuddin yang juga seorang penerbit buku itu.
Sejarah masa lalu penting diingat, meskipun tidak dengan cara yang negatif, untuk mengambil semangat dalam melanjutkan masa depan. (*)