Ketua AAI: Kebudayaan Aceh Harus Diklaim dan Dihidupkan Kembali
Font: Ukuran: - +
Reporter : Auliana Rizki
Ketua AAI Aceh, Dr. Bustami Abubakar, M.Hum menjadi narasumber dalam diskusi bertema "Kilas Balik 2021: Gerakan Kebudayaan di Masa Pandemi" yang disiarkan di kanal YouTube BPNB Aceh. [Foto: Tangkapan layar YouTube.com BPNB Aceh/Auliana Rizki]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Ketua Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Aceh, Dr. Bustami Abubakar, M.Hum mengatakan kebudayaan Aceh itu perlu diklaim dan dihidupkan kembali, pada Sabtu (1/1/2022) dalam diskusi bertema "Kilas Balik 2021: Gerakan Kebudayaan di Masa Pandemi" yang disiarkan di kanal YouTube BPNB Aceh.
Bustami menyampaikan, jika melihat situasi pandemi, harus ia akui gerakan kebudayaan mengalami kendala tapi bukan kendala dari pelaku. Namun, ketika ia melakukan ia akan mendapatkan hambatan dan larangan.
"Jika ini dibiarkan terlalu lama maka akan menjadi kebiasaan. Ini menjadi suatu yang membahayakan bagi pertumbuhan dan kebudayaan kita. Saya pikir pemerintah daerah harus melihat secara jernih bagaimana masa depan pandemi, kalau kiranya sudah mundur mari hidupkan kembali gerakan-gerakan kebudayaan Aceh," tuturnya.
Dosen UIN Ar-Raniry tersebut mengatakan, bisa saja kita menggunakan moment atau tema-tema pandemi ini, misalnya yang dilakukan oleh BPNB tentang cara pengobatan untuk mencegah pandemi dan banyak lainnya.
Kemudian jika melihat sokongan Pemerintah Aceh, ia mengatakan garda terdepan melestarikan kebudayaan Aceh itu masih dipegang oleh BPNB. Pada tahun 2021 yang diusulkan adalah WBTB.
“Paling tidak WBTB itu berasal dari masyarakat, dicatat oleh masyarakat, kemudian untuk mengajukan warisan budaya nasional, paling tidak ia punya dokumentasi yang memadai dan punya kajian akademik. WBTB yang kita peroleh tahun 2021 itu adalah “Kupiyah Meukutob”. Kupiah Meukutob sekarang tercatat WBTB milik Kabupaten Pidie,” ucapnya.
Syarat pengajuan WBTB itu berusia 1 tahun. Jadi kalau diajukan pada tahun yang sama justru akan ditolak. Pembuatan video akademik bukan persoalan sederhana, itu persoalan yang membutuhkan energi, tim, dan semangat. Perlu anggaran dan lainnya. Dan juga ada beberapa daerah belum ada WBTB yang tercatat dalam warisan budaya nasional.
Banyak masyarakat Aceh yang tidak paham bahwa kebudayaan itu harus diklaim. Ia berharap pada instansi pemerintah untuk melibatkan masyarakat ini ke komunitas-komunitas yang ada.
“Dalam hal ini semua komponen terlibat, pemerintah, komunitas, bahkan masyarakat biasa. Ketika ini terjadi maka akan menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan kita,” lanjutnya lagi.
Berbicara tentang WBTB, maka berbicara bagaimana pentingnya akademik. Ia membuktikan secara akademik bahwa ini milik masyarakat tersebut, baik berdasarkan folklore atau macam-macam referensi lainnya. Sehingga kajian akademik menjadi penting.
Ia juga menambahkan bahwa pengaruh kebudayaan ini berjalan kalau ada visi di tingkat pemerintahan daerah, mengembangkan bahkan menggali yang hampir punah tadi. Visi ini ditularkan melalui kebijakan kemudian kebijakan anggaran, kemudian menggunakan tangan-tangan masyarakat hingga komunitas juga dilibatkan.
“Mari kita sebagai masyarakat Aceh berpikir bahwa budaya kita itu adalah budaya superior. Kalau kita merasa budaya kita inferior maka sewaktu-waktu kita akan tergerus dan tidak akan berani menampakkan identitas budaya kita sendiri,” tutupnya. [AU]