Kisah Ibu Hidupi 4 Anak di Aceh Utara dengan Membuat Garam
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
DIALEKSIS.COM | Aceh Utara – Berbagai hal akan dilakukan oleh setiap orangtua untuk menghidupi keluarganya tanpa terkecuali. Yang terpenting keluarga di rumah bisa melangsungkan kehidupannya.
Begitulah yang dilakukan oleh Zuryati yang berasal dari Aceh Utara, ia merupakan seorang ibu kepala rumah tangga yang menghidupi empat orang anak dari penghasilan membuat garam dari air laut. Zuryati yang berusia 45 tahun sudah membuat garam sejak 3 tahun terakhir setelah suaminya meninggal dunia.
“Capek juga masak untuk buat garam ini, harus hidupkan api dulu, mata perih sekali karena berasap dan terkadang api sampai 30 menit lebih baru nyala,” ujarnya kepada Dialeksis.com, Minggu (13/12/2020).
Adapun persiapan untuk membuat garam tersebut harus membeli kayu-kayu besar seharga 400 ribu per 1 mobil pickup, Zuryati juga harus membayar sewa kuali untuk memasak garam kepada pemiliknya, sedangkan alat-alat lainnya harus disediakan sendiri.
Selama ini, Zuryati dan teman-teman pembuat garam lainnya mengalami perubahan harga yang tidak menentu, terlebih lagi di masa pandemi ini.
“Kalau dulu Rp 10 ribu per kilogramnya, sekarang selama pandemi turun jadi Rp 4 ribu per kilogram. Harga tetap segitu, belum tahu juga kapan bisa naik lagi, padahal membuat garam ini cukup sulit dan menguras banyak tenaga kami,” ungkapnya.
Menurut Zuryati, selama dirinya mencari pendapatan lewat pembuatan garam, sudah pernah beberapa kali datang orang untuk mendata dirinya serta yang lainnya untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah, seperti dijanjikan akan diberikan sejumlah uang tunai, namun sampai saat ini dirinya tidak mendapatkan bantuan apapun.
“Kami kalau mau dikasih apapun kami terima, kalau dikasih uang lebih baik kami bisa beli kayu,” ucapnya sambil meneteskan air mata.
Selain membuat garam dari air laut, ia juga seorang petani sawah untuk menambah penghasilan kebutuhan anak-anaknya. Sebelumnya salah satu anaknya bersekolah di Pesantren Kecataman Seunuddon Kabupaten Aceh Utara, namun akibat kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan terpaksa harus pindah ke sekolah negeri di desanya.
“Kami memerlukan seorang pengatur kebijakan yang mengatur harga penjualan agar selalu stabil tidak turun drastis, mudah-mudahan kehidupan kami ini diliriklah oleh pemerintah,” tutupnya.