Kisah Korban Simpang KKA, Suara Tembakan, Hingga Alami Trauma
Font: Ukuran: - +
Reporter : Agam K
Sorot matanya menerawang, sambil membakar rokok yang ada ditangannya. Raut wajahnya terlihat menyimpan rasa sedih yang mendalam, ketika ditanyai tentang peristiwa yang terjadi di Simpang KKA, Aceh Utara beberapa tahun silam.
Kami duduk disalah satu warung kopi yang terletak disudut Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Sambil bercerita tentang masa lalu yang pernah dialaminya, sehingga cerita itu tidak akan pernah pudar dalam ingatannya.
Namanya Murtala (51), bagi masyarakat Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, namanya sudah tidak asing lagi. Bagamaina tidak, ia merupakan sebagai pendiri lembanga komunitas korban pelanggaran HAM, yang diberi nama sebagai Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU).
Komunitas tersebut merupakan sebagai wadah menghimpun para korban pelanggaran HAM tragedi Simpang KKA, yang terjadi pada 3 Mei 1999. Dirinya juga sebagai korban dalam peristiwa itu.
Pada tanggal 3 Mei 1999 lalu, kala itu dirinya baru saja menghadiri kenduri ditempat kediaman rekannya dan usai disitu, ia berbelanja di pasar Krueng Geukuh, namun situasi tidak seperti biasanya.
Ketika ia sampai di depan Kantor Camat Dewantara, maka sudah sangat ramai masyarakat berkumpul, karena merasa takut, Murtala megurungkan niatnya untuk berbelanja, meskipun belum mengetahui apa kejadian yang sebenarnya.
Hingga pria yang berkulit sawo matang itu memilih untuk pulang. Setiba dirumah, dirinya berpesan kepada istrinya untuk berada dirumah saja dan jangan keluar, karena merasa penasaran dirinya memilih untuk keluar dari rumah, untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Saat tiba di Simpang KKA, massa terlihat ramai sekali dan jalanan juga menjadi macet total. Bahkan banyak kenderaan yang terhenti karena tidak bisa lewat, saat azan berkumandang Murtala langsung bergegas untuk melaksanakan Salat Zuhur dirumah temannya yang tidak jauh dari lokasi.
Usai melaksanakan Ibadah Salat Zuhur, dirinya kembali mendatangi tempat yang ramai itu karena masih merasa penasaran, namun tiba-tiba terdengan bunyi letusan senjata api sehingga membuat sejumlah masyarakat berlarian menyelamatkan diri.
“Waktu itu saja saat azan sudah berkumandang, maka saya salat dulu, kemudian saya berkumpul lagi dengan warga lainnya karena masih penasaran kejadian apa sebenarnya. Tiba-tiba terdengar suara letusan senjata,” ujar Murtala.
Saat suara desingan peluru masih terdengar, dirinya mencoba berlari untuk menyelamatkan diri, namun tiba-tiba ia langsung dipukul di dada dengan menggunakan popor senjata. Bukan hanya itu saja, badannya itu juga sempat dilempar ke mobil namun terjatuh kembali ke jalanan.
Saat itulah ia tidak bisa melanjutkan ceritanya, karena saat terjatuh dari mobil ia langsung pingsan, ketika sadar, dirinya sudah berada di Rumah Sakit Umum Lhokseumawe atau sekarang telah berganti nama menjadi Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (PMI) dan mengalami trauma selama 6 bulan.
“Setelah keluar dari rumah sakit maka sangat mengalami trauma dan selama enam bulan saya tidak keluar dari rumah, kadang untuk pergi kerja saya juga mengalami rasa ketakutan,” kata Murtala.
Dirinya sangat berharap kepada pemerintah agar bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, begitu juga harus adanya perhatian kepada setiap keluarga yang menjadi korban.
Apabila dilihat saat sekarang ini, peringatan Hari HAM Sedunia selalu diperingati setiap tanggal 10 Desember, hanya saja untuk pemenuhan hak bagi para korban masih sama sekali belum dilakukan.
“Seharusnya setiap tempat-tempat yang terjadinya pelanggaran HAM, harus ada dibangun sebuah tugu atau monumen lainnya, agar nantinya siapan pun generasi Aceh bisa mengetahui peristiwa apa saja yang terjadi di masa lalu,” ungkapnya.
Kasus Pelanggaran HAM Aceh
Berdasarkan data yang diperoleh dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada sekitar 5.000 nyawa hilang di Aceh saat DOM mencengkram Tanah Rencong. Bukan hanya sebatas itu saja, sekitar 1.000 orang diduga dibantai dan 375 orang lainnya hilang, dibunuh, diperkosa, serta disiksa.
Saat lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang diketuai Baharuddin Lopa melakukan pendataan kasus pelanggaran HAM saat diberlakukan DOM di Aceh, dalam catatanya ada sekitar 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang dianiaya, janda akibat suaminya meninggal atau hilang diperkirakan ada 3.000 orang, serta lebih dari 20.000 ribu anak menjadi yatim.
Belum lagi menyoal 98 unit bangunan dibakar, serta 102 wanita mengalami perkosaan. Sebuah catatan kelam yang amat sulit dilupakan warga Tanah Rencong.
Begitu juga dengan kasus besar lainnya seperti tragedi Simpang KKA, Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak.
Peristiwa lainnya yang sangat miris adalah Tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan pada 17 Mei 2003 silam, kala itu ada 16 orang penduduk setempat yang mengalami , penembakan, pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) dan pembakaran serta 5 orang lain turut mengalami kekerasan
Semoga saja peristiwa pelanggaran HAM tersebut tidak terulang kembali di Aceh dan para korban bisa segera mendapatkan hak-haknya, serta Provinsi Aceh selalu dalam keadaan damai. **** (M. Agam Khalilullah)