DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik kepemilikan lahan Blang Padang di jantung Kota Banda Aceh kembali mencuat ke permukaan, memantik perdebatan di tengah masyarakat Aceh.
Di tengah semrawutnya klaim kepemilikan dan status hukum lahan bersejarah itu, sesungguhnya sudah ada jejak bukti-bukti lama yang tertulis rapi, namun terlupakan dan lebih ironisnya lagi, dibiarkan lapuk di sudut arsip yang terbengkalai.
Raihan Lubis, Co-founder Sophie's Sunset Library, mengingatkan publik bahwa persoalan status Blang Padang bukan sekadar urusan klaim sepihak, melainkan seharusnya merujuk pada sumber-sumber sejarah yang sahih.
Salah satu rujukan penting adalah buku karya Karel Frederik Hendrik van Langen berjudul De Inrichting Van Het Atjehsche Staatsbestuur Onder Het Sultanaat (1888), yang kemudian diterjemahkan oleh Aboe Bakar menjadi Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan dan dicetak Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) pada 1986, lalu diterbitkan ulang hingga lima kali terakhir pada 2019.
Di dalam buku itu terungkap bahwa Belanda menemukan sejumlah naskah asli penting, termasuk Adat Makota Alam dan Sarakata (maklumat) Sultan Syamsul Alam, saat mereka menduduki Masjid Indrapuri, Aceh Besar, pada 1879.
Walau dokumen aslinya hilang karena banjir pada 1886, untungnya masih ada transkrip resmi yang tersimpan dan dijadikan sumber rujukan van Langen saat menulis sejarah administrasi Aceh.
Menurut catatan van Langen, pada bagian Geesteljkheid atau bidang kerohanian, di halaman 30 buku itu, disebutkan dengan tegas bahwa penghasilan Imam Masjid Raya Baiturrahman berasal dari sawah-sawah, kebun kelapa, dan kebun rumbia yang dihadiahkan oleh Sultan, salah satunya di wilayah Blang Padang dan Blang Punge.
“Sawah-sawah itu tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan, dan semata-mata dikhususkan sebagai sumber penghidupan Imam,” tulis van Langen yang dikutip media dialeksis.com dari akun Instagram @Sophie's Sunset Library.
Artinya, sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam, lahan Blang Padang sudah memiliki fungsi sosial-keagamaan yang jelas dan tidak diperuntukkan sebagai milik pribadi.
Jika para ahli sejarah kolonial Belanda saja menaruh kepercayaan pada dokumen-dokumen kerajaan Aceh, mengapa kita sekarang malah menutup mata?
Berdasarkan peta kolonial Belanda pada 1874, kawasan Blang Padang masih terlihat sebagai areal sawah, kebun kelapa, dan rumbia.
Namun kemudian, Belanda menata kawasan itu menjadi semacam parade ground -- alun-alun terbuka untuk upacara dan kegiatan militer.
Dalam perjalanan sejarahnya, Blang Padang bahkan menjadi saksi lahirnya Piagam Blang Padang pada 20 Desember 1962, hasil Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) yang memediasi perdamaian antara pemerintah RI dan DI/TII pimpinan Daud Beureueh.
Piagam ini ditandatangani oleh Ali Hasjmy, Kolonel M. Jasin, dan Njak Adam Kamil sebagai bukti bersejarah perdamaian di Tanah Rencong.
Namun pertanyaannya sekarang, di mana sebenarnya dokumen resmi tentang status tanah Blang Padang?
Raihan Lubis menegaskan, publik tak perlu jauh-jauh ke Belanda karena buku van Langen dalam bahasa Indonesia tersedia di PDIA Banda Aceh, meski aksesnya kini justru tertutup.
“Sayangnya, kondisi PDIA saat ini memprihatinkan. Arsip-arsip penting tentang Aceh, termasuk Blang Padang, teronggok di ruangan kecil di lantai dua Museum Aceh. Dokumen-dokumen itu dimakan rayap, lembab, bahkan dikencingi musang,” ungkap Raihan.
Situasi makin ironis karena PDIA dibekukan kepengurusannya akibat mandeknya pendanaan dari pemerintah Aceh dan tarik-menarik kepentingan sejumlah lembaga.
Akibatnya, hampir tiga tahun lamanya ruangan PDIA tak bisa diakses publik ” padahal di sanalah terkubur ribuan lembar sejarah Aceh yang sangat berharga.
“Blang Padang hanyalah satu contoh kecil bagaimana kita sering gagal membaca, menulis, dan merawat arsip kita sendiri,” kritik Raihan.
Menurutnya, selama pemerintah tidak menaruh perhatian serius pada perawatan arsip, sengketa lahan bersejarah semacam Blang Padang akan terus berulang karena semua pihak bersilat lidah tanpa dasar yang jelas.
Ia berharap kisruh kepemilikan tanah Blang Padang hari ini bisa menjadi momentum membenahi PDIA agar kembali dibuka untuk publik, sehingga siapa pun dapat membaca, meneliti, dan memahami sejarah Aceh dengan bersandar pada bukti-bukti otentik, bukan sekadar klaim sepihak.
“Sementara menunggu PDIA kembali normal, publik bisa membaca sendiri buku karya van Langen ini di perpustakaan Sophie's Sunset Library,” tutup Raihan. [*]