kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / KKR Aceh Publikasikan Temuan Pelanggaran HAM Berupa Buku 'Peulara Damèe'

KKR Aceh Publikasikan Temuan Pelanggaran HAM Berupa Buku 'Peulara Damèe'

Sabtu, 23 Desember 2023 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Ketua KKR Aceh, Masthur Yahya, menyerahkan laporan temuan KKR Aceh berupa buku berjudul Peulara Damèe kepada Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam diskusi yang diinisiasi oleh KontraS Aceh disokong oleh Yayasan TiFA pada Kamis (21/12/2023). Paling kiri, Waka KKR Aceh, Oni Imelva, paling kanan Komisioner KKR Aceh Pokja Reparasi, Yuliati (Liputan6.com/Ist)


DIALEKSIS.COM | Aceh - "Tiap malam melakukan perbuatan yang cukup, antara lain yang saya rasakan sendiri, pemandangan yang luar biasa, sehingga tubuh saya cacat, dan mata kaki saya bolong, punggung saya masih ada bekasnya, saya juga dipukul dengan besi... oleh M. Kaki saya ditindih dengan balok oleh Komandan [Kopassus] P dan mengakibatkan putusnya urat. Saya ditelanjangi, disetrum, dipadukan antara alat vital dengan telinga, tidak begitu terasa dipadukan dengan mata, dipadukan di mulut dan di sebelah atas rasa sakit..." itulah salah satu kesaksian penyiksaan dari seorang guru agama dalam laporan temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Laporan ini dimuat dalam bentuk buku setebal 232 halaman berjudul Peulara Damèe atau Merawat Perdamaian.

Penyiksaan yang dialami oleh sang guru agama tersebut berlangsung di Rumoh Geudong, salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis yang dioperasikan selama Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Dikenal sebagai Operasi Jaring Merah, DOM dicetuskan sebagai operasi kontra-pemberontakan yang berlangsung hampir 10 tahun, dimulai dari 1989 sampai 1998.

Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM berat Komnas HAM menyimpulkan adanya kejahatan terhadap kemanusiaan di Rumoh Geudong, termasuk penyiksaan, kekerasan seksual, dan pelanggaran HAM berat lainnya, yang dilakukan secara rutin di bawah pimpinan militer Indonesia.

Kesaksian sejumlah korban Rumoh Geudong mengisi lembaran halaman laporan KKR Aceh Peulara Damèe (2023). Rumoh Geudong sendiri, berdasarkan laporan KKR Aceh termasuk ke dalam situs kekerasan yang paling menonjol atau utama bersama Pos Sattis Rancong.

Presiden Jokowi datang ke Rumoh Geudong pada 27 Juni 2023 untuk memukul gong "kick off" yang menandai program penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu telah dimulai. Program ini dicetuskan melalui Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu, sebagai upaya pemulihan korban pelanggaran HAM dari 12 kasus di Indonesia, tiga di antaranya di Aceh. 

Jika Pos Sattis Rumoh Geudong berada di Pidie, maka Pos Sattis Rancong berada di dalam kompleks PT Arun, Lhokseumawe. Sama-sama di bawah penguasaan Kopassus, Pos Rancong dipakai sebagai markas tentara merangkap tempat penahanan dan penyiksaan rahasia. 

KKR Aceh juga menemukan kesaksian adanya pasukan non-kopassus yang ditempatkan di Pos Rancong untuk mengamankan fasilitas PT Arun dari sabotase. Keterlibatan ini pada akhirnya menyeret ExxonMobil ke pengadilan di Amerika Serikat dengan proses pengadilan memakan waktu 20 tahun hingga berujung 11 warga mendapat ganti rugi dari perusahaan.

Laporan KKR Aceh Peulara Damèe (2023) juga berisi puluhan kesaksian korban tindakan kekerasan lainnya yang terbentang mulai dari pantai timur hingga ke pantai barat Aceh bahkan merangsek ke dataran tinggi Gayo. Setidaknya 8.029 orang menjadi korban tindak kejahatan HAM di Aceh, terdiri dari 848 perempuan dan 7.181 laki-laki. Sebanyak 1776 orang laki-laki dan 144 perempuan menjadi korban kejahatan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Sementara itu, sebanyak 1085 laki-laki dan 38 perempuan menjadi korban pembunuhan tidak sah dan bertentangan dengan hukum. 

Temuan ini mengungkap sebanyak 3021 laki-laki dan 327 perempuan jadi korban tindak penyiksaan, 87 laki-laki dan 78 perempuan korban kejahatan kekerasan seksual dan perkosaan, 359 laki-laki dan 10 perempuan korban penghilangan paksa, 863 laki-laki dan 251 perempuan korban perusakan dan perampasan harta benda. 

Pelaku kekerasan terdiri dari TNI sebanyak 7645 kasus, polisi 1524 kasus, SGI dan unit lain 165 kasus, aparatus negara lainnya 33, dan milisi pro-Indonesia 14 kasus. Catatan yang sama mengungkap bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bertanggung jawab atas 392 kasus kekerasan selama konflik di Aceh sementara sebanyak 776 kasus lagi dinyatakan belum dapat diidentifikasi siapa pelakunya. 

Secara khusus, laporan KKR Aceh juga menyisipkan tabel berisi keterangan pelaku kekerasan seksual selama tiga periode konflik di Aceh dilihat berdasarkan institusinya. Praktik kekerasan seksual oleh TNI selama tiga periode totalnya 156, terdiri atas periode DOM sebanyak 45 kali, Operasi Sandi 44 kali, Darurat Militer 50 kali, Darurat Sipil 17 kali. 

Sementara itu, Polisi-Brimob totalnya 34 kali, dengan runutan jumlah untuk setiap periode yang sama yakni 1, 16, 10, dan 7. Selanjutnya, gabungan TNI-Brimob total 5 kali, yang berlaku hanya dalam periode Operasi Sandi 1 kali, Darurat Militer 2 kali. GAM tercatat melakukan tindakan kekerasan seksual sebanyak 1 kali dalam periode Operasi Sandi, dan OTK sebanyak 2 kali dalam periode operasi yang sama. Berdasarkan tempat kejadian, praktik kekerasan seksual terjadi di Pos TNI sebanyak 74 kali, Koramil 9 kali, Kodim 4 kali, Markas AURI Blang Bintang 4 kali, POM 3 kali, Pos Brimob 9 kali, Polsek 9 kali, Polres 13 kali, Polda Aceh 1 kali, LP Jantho 1 kali, rumah: korban, saudara, tetangga, 31 kali, kebun: pinggir sungai, jalan, menasah, tempat pengungsian, dan lainnya 37 kali.

Salah satu teknik yang dipakai dalam melancarkan aksi kekerasan seksual yakni dengan cara melakukan penahanan sewenang-wenang dan wajib lapor. Sasarannya adalah korban yang akan dijadikan budak seksual, diperkosa, dan disiksa secara seksual. KKR Aceh mengungkap terdapat 39 korban, 13 perempuan dan 26 laki-laki, yang disekap atau ditahan secara sewenang-wenang. Sebanyak 21 korban, 16 perempuan dan 5 laki-laki, dikenakan wajib lapor. 

Selama melaksanakan wajib lapor, terjadi perbudakan di mana para korban dipaksa untuk melayani kebutuhan makan, mencuci, membersihkan pos, dan lainnya. Setidaknya 9 korban, 7 perempuan dan 2 laki-laki, mengalami hal ini. Selama melakukan praktik kekerasan seksual kepada 28 korban, terdiri dari 21 perempuan dan 7 laki-laki, para korban berada di bawah ancaman akan ditembak dan dibunuh. Sebanyak 48 korban kekerasan seksual, terdiri dari 24 perempuan dan 24 laki-laki, disiksa dengan menggunakan senjata, di mana pelaku menjadikan tubuh korban sebagai objek untuk dipukul, ditusuk, hingga mencolek bagian tubuh, termasuk organ seksual korban.

Tindakan kekerasan seksual berupa perkosaan menyisakan trauma dan mimpi buruk sampai sekarang. Temuan KKR Aceh mengungkap bahwa pasukan keamanan Indonesia menjadikan tindakan perkosaan yang mereka lakukan semata untuk penyaluran nafsu bejat belaka dengan dalih yang tidak masuk akal seperti untuk mengecek bekas sentuhan anggota GAM pada tubuh para korban sebagai pembuktian yang bersangkutan terlibat atau tidak. 

Salah satu kebiadaban yang menggambarkan perkosaan dialami korban dapat dilihat dari kesaksian seorang anak perempuan berinisial A dan M pada 2002. Segerombolan tentara yang sedang berpatroli tak sengaja berpapasan kedua A dan M yang kala itu duduk mengaso sambil makan rujak buah pala di sebuah rangkang belakang rumah. 

A dan M dituduh sebagai bagian dari pasukan Inong Balee. Inong Balee merupakan salah satu sayap perjuangan GAM dari kalangan perempuan yang dipersenjatai. A dan M dipaksa masuk ke dalam rumah, dan kemudian di bawah ancaman senjata api, keduanya diperkosa tanpa ampun oleh tentara. 

Kisah yang sama mengerikannya dialami oleh perempuan lain yang juga berinisial M. Dalam kesaksiannya, M diperkosa berkali-kali oleh TNI Kompi C Rajawali yang datang bergiliran ke rumahnya. Sementara itu, seorang perempuan 25 tahun di Aceh Utara harus menjalani wajib lapor selama delapan bulan di pos TNI. Selama itu pula dirinya dipaksa menjadi budak seks tentara di pos tersebut. Ia dilecehkan martabatnya sebagai manusia berkali-kali.

Kesaksian tentang pembunuhan ikut menghiasi laporan KKR Aceh Peulara Damèe (2023). Seperti yang telah disinggung, militer Indonesia tercatat sebagai pelaku utama dan terbanyak dari kejahatan pembunuhan di luar proses hukum di Aceh. GAM dan milisi pro-Indonesia juga tercatat bertanggung jawab atas sejumlah kasus pembunuhan di Aceh. 

Menurut catatan KKR Aceh, kelompok-kelompok gerilyawan GAM di beberapa wilayah bertanggung jawab atas sejumlah kasus pembunuhan kilat terhadap warga sipil yang dituding sebagai informan TNI atau intelijen. Milisi pro-Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan warga sipil di wilayah Takengon dan Bener Meriah antara 1999 dan 2004.

Operasi pembunuhan juga turut menyasar orang-orang yang menjadi tokoh perdamaian dan HAM lokal yang ketahuan menyuarakan kritik atas brutalitas strategi perang para pihak yang bertikai. Laporan KKR Aceh mengungkap bahwa para eksekutor dari pembunuhan para aktivis HAM dan para tokoh politik lokal yang vokal ialah orang-orang bersenjata mengenakan bertopeng. Kasus-kasus pembunuhan ini berlangsung signifikan antara tahun 2000 hingga sebelum pemberlakuan Darurat Militer pada 2003.

"Tak lama, kami mendengar ada kejadian penembakan terhadap 13 orang yang terjadi di Panton Labu. Bersama keluarga, kami pergi ke Panton Labu. Sampai di daerah Lueng Peut, Panton Labu, kepala desa mengatakan salah satu korban yang dikuburkan mirip dengan A. Lalu diantarkannya kami ke kuburan yang mereka yakini sebagai kuburan A tersebut. Tak lupa kain untuk mengikat korban beserta baju korban. Semua sudah dibungkus dalam plastik, diserahkan sama kami. Tiap Lebaran, kami masih ziarah ke sana sampai sekarang. Sedangkan anaknya saya besarkan. Sekarang, dia sudah dewasa dan bekerja sehari-hari sebagai tukang bangunan," demikian keterangan saksi atas eksekusi kilat 13 orang di Lueng Putu pada 1990 (Peulara Damèe, hal: 166).

Sebagai intiha dari laporan temuan mereka, KKR Aceh memberi sejumlah rekomendasi yang terdiri atas rekomendasi untuk perubahan hukum, politik, dan administratif, seperti merekomendasi agar pemerintah mengakui pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di Aceh dan membentuk tim reformasi sektor keamanan dengan mandat mengimplementasi reformasi komprehensif untuk memastikan akuntabilitas dan tidak terulangnya pelanggaran HAM di Aceh maupun di seluruh pelosok Indonesia. 

Rekomendasi lainnya yakni rekonsiliasi berbasis kearifan lokal di mana salah satunya KKR Aceh bersama Pemerintah Aceh dan segenap elemen masyarakat akan melakukan proses rekonsiliasi dengan memastikan bahwa para pihak yang menjalani rekonsiliasi tidak terlibat pelanggaran HAM berat. Selanjutnya ada rekomendasi reparasi di mana KKR Aceh merekomendasikan agar pemerintah menyusun kebijakan nasional dalam bentuk perpres, inpres, dan peraturan lain agar rekomendasi reparasi atau pemulihan hak korban bisa segera diimplementasikan.

Untuk tindakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM, secara spesifik KKR Aceh merekomendasikan agar pemerintah dan DPR RI segera membentuk Pengadilan HAM dalam rangka menjalankan mandat pasal 228 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Yaitu, untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang terjadi sesudah UUPA dibentuk. Selanjutnya, putusan Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.

Rekomendasi KKR Aceh selanjutnya yakni Jaksa Agung segera menindaklanjuti penyelidikan pro-yustisia yang telah dilakukan oleh Komnas HAM untuk tiga kasus: Rumah Geudong, Jambo Keupok, dan Simpang KKA. Sementara itu, DPR RI membentuk Pengadilan Ad Hoc HAM sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000. Kepada Komnas HAM, KKR Aceh merekomendasi agar menindaklanjuti temuan-temuan yang dihasilkan oleh KKR Aceh yang setidak-tidaknya patut diduga sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat, khususnya membentuk tim investigasi untuk melanjutkan penyelidikan pro-yustisia terhadap aparat keamanan dan orang-orang yang bertanggung jawab dalam rantai komando seperti yang disebut di dalam bagian temuan dan pertanggungjawaban dari laporan KKR Aceh.

Bab rekomendasi tersebut turut menyisipkan sejumlah pertimbangan berkaitan dengan tindakan lainnya dengan lingkup seperti budaya dan pembelajaran HAM, pemulihan dan trauma individu, penyebaran laporan akhir di Indonesia dan masyarakat internasional hingga arsip-arsip KKR Aceh dan Museum HAM. Adapun laporan temuan KKR Aceh ini merupakan hasil pelbagai temuan pengungkapan kebenaran yang dilakukan oleh lembaga itu sejak 2018. Laporan ini sendiri merupakan ejawantah dari mandat yang tertera di dalam Qanun No. 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh. Adapun denyut KKR Aceh ditandai dengan pelantikan sejumlah komisioner pada 24 Oktober 2016. [liputan6.com]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda