Beranda / Berita / Aceh / Koalisi NGO HAM Aceh Gelar FGD Penyelesaian Konflik Agraria

Koalisi NGO HAM Aceh Gelar FGD Penyelesaian Konflik Agraria

Rabu, 04 Desember 2024 21:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Focus Group Discussion tentang penyelesaian konflik agraria dalam rangka pembangunan Aceh berkelanjutan yang digagas oleh Koalisi NGO HAM Aceh bersama DPM FKIP Unaya. [Foto: dok. Koalisi NGO HAM]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koalisi NGO HAM Aceh bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Abulyatama Aceh menggelar Fokus Group Discussion tentang penyelesaian konflik agraria dalam rangka pembangunan Aceh berkelanjutan.

Diskusi yang berlangsung di Kantin Kampus Abulyatama pada Rabu (4/12/2024) menghadirkan tiga narasumber terkemuka diantaranya Muhammad Nur dari For-Bina, Usman Lamreung Sebagai Pengamat Kebijakan dan Khairil Arista dari Koalisi NGO HAM yang diikuti oleh seratusan mahasiswa Universitas Abulyatama.

Pada kesempatan tersebut Muhammad Nur menuturkan bahwa konflik agraria terjadi hampir diseluruh Kabupaten di Aceh, baik itu konflik lahan antara masyarakat dengan perusahan perkebunan, perusahaan tambang, galian C, lahan pertanian maupun konflik warga dengan pemerintah itu sendiri, dalam hal ini masyarakat yang dominan menjadi korban dari hal tersebut.

Konflik lahan atau tanah bukanlah hal yang baru, tetapi kasus tersebut telah terjadi puluhan tahun yang lalu yang pada akhirnya penyelesaian tidak sesuai dengan harapan terutama konflik antara warga dengan perusahaan atau pengusaha.

Ia mengakui dirinya bukan tidak mendukung investasi di Aceh yang merupakan salah satu program pemerintah, tetapi dalam pelaksanaannya selain mengedepankan hak dan kepentingan masyarakat juga harus sesuai dengan tataruang yang ada serta sesuai dengan Hak Guna Usaha (HGU) berdasarkan hasil kajian.

"Jangan kita menganggap investasi adalah segalanya sehingga semua dijalankan atas kepentingan perusahaan atau kepentingan pemerintah dengan mengabaikan kepentingan masyarakat sehingga masyarakat terusir dari tanah sendiri", ujar M Nur.

Pada kesempatan tersebut M Nur mengajak mahasiswa untuk terlibat secara langsung untuk mengawal kebijakan pemerintah dan harus berpikir kritis serta memiliki gagasan sehingga mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah yang berpihak kepada masyarakat sehingga konflik tersebut bisa diminimalisir.

Hal senada juga disampaikan oleh Usman Lamreung. "Aceh memiliki lahan yang sangat luas dengan potensi alam yang melimpah seperti tambang, minyak dan gas yang komunitas masyarakat hidup diarea tambang namun harus pergi karena terjadinya perampasan lahan oleh perusahaan".

"Konflik tanah terjadi karena persoalan investasi sehingga kita harus pergi meninggalkan rumah dan tanah kita", ujar Usman Lamreung.

Menurutnya, hak-hak masyarakat diserobot yang seharusnya disitu pemerintah hadir untuk memperjuangkan hak masyarakat, tetapi pemerintah terlihat ketidaktulusannya secara sistematis sehingga masyarakat terusir dari tanahnya.

"Untuk itu investasi perkebunan, gas pertambangan maupun wisata, yang menjadi legalitas masyarakat harus ditetapkan, jangan pada saat perjanjian pemerintah dengan perusahaan memasukkan lahan masyarakat sehingga konflik itu terjadi," tutur Usman Lamreung.

Usman juga menyebutkan, dalam tata kelola pertanahan belum ada kejelasan dalam hal ini perlu peran mahasiswa di dalamnya untuk mendorong pemerintah melahirkan kebijakan pengelolaan pertanahan yang baik sehingga persoalan lahan dan tanah terselesaikan.

Penting kita pahami bersama, kata Usman, ke depan apalagi pemerintah baru, tentu punya semangat baru dengan segala persoalan, kemiskinan termasuk juga investasi dan sebagainya.

Dalam hal ini ia juga ikut mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis dalam mengawal kebijakan pemerintah serta proaktif menyuarakan kepentingan masyarakat sehingga seperti harapan kita bersama persoalan konflik lahan diberbagai Daerah di Aceh bisa terselesaikan dengan baik.

Sementara itu Direktur Koalisi NGO HAM Khairil Arista mengungkapkan, berbicara konflik agraria harus dilihat dari kebutuhan masyarakat karena nilai yang dibangun dari Hak Asasi Manusia (HAM).

"Tanah petani tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat sehingga secara peruntukan untuk kesejahteraan masyarakat", ujar Khairil.

Khairil juga mengakui berbagai kasus konflik yang ada diberbagai daerah di Aceh tidak terselesaikan dengan baik. 

"Ketika problem ini tidak terselesaikan dengan baik oleh pemerintah, maka yang dikhawatirkan hanya akan menguntungkan pihak pengusaha dan mengorbankan masyarakat," ungkapnya.

Potensinya, lanjut Khairil, akan terjadi tindak kekerasan yang melawan hukum karena masyarakat mengganggap tidak adanya keadilan sehingga terjadinya tindak kriminal atas ketidaksadaran hukum dalam masyarakat.

"Keadilan masyarakat terabaikan akan berdampak pada kemiskinan", pungkas Khairil.[*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda