KontraS Aceh dan AJI Bahas Perspektif Humanis Terkait Pengungsi Rohingya di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh mengadakan diskusi bertajuk "Menggagas Perspektif Humanis Terkait Pengungsi di Aceh" pada Jumat (13/9/2024). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh mengadakan diskusi bertajuk "Menggagas Perspektif Humanis Terkait Pengungsi di Aceh" pada Jumat (13/9/2024).
Diskusi yang digelar di halaman Sekretariat KontraS Aceh, Banda Aceh, ini dihadiri oleh insan pers dan anak-anak muda, dengan fokus membahas fenomena kehadiran pengungsi Rohingya di wilayah Aceh.
Diskusi ini diharapkan dapat membuka wawasan insan pers dan masyarakat, khususnya anak muda, tentang pentingnya perspektif humanis dalam menangani isu pengungsi.
Melalui pemahaman yang lebih baik, diharapkan masyarakat Aceh dapat menerima kehadiran pengungsi dengan cara yang lebih inklusif dan penuh rasa kemanusiaan.
Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh, memulai diskusi dengan menekankan pentingnya pemahaman yang tepat terkait status pengungsi Rohingya.
Menurut Husna, Aceh akan terus menjadi tujuan bagi pengungsi dari luar negeri, termasuk komunitas Rohingya yang datang akibat konflik di negara asalnya, Myanmar.
Ia menegaskan bahwa dalam menghadapi kedatangan mereka, diperlukan sudut pandang yang jelas.
"Banyak dari kita yang membaca di media bahwa mereka disebut sebagai imigran. Tapi, apakah ini benar? Haruskah kita menyebut mereka sebagai imigran atau pengungsi? Ini bukan sekadar perbedaan istilah, karena status mereka di mata hukum sangat berbeda," ungkap Husna.
Ia mengajak insan pers dan masyarakat untuk berhenti menggunakan istilah imigran terhadap para Rohingya yang sebenarnya mengungsi akibat persekusi dan ancaman di negara asal mereka.
Dalam diskusi ini, Faisal Rahman, Protector Associate dari UNHCR Indonesia, menjelaskan lebih lanjut perbedaan antara imigran dan pengungsi.
Menurut Faisal, imigran adalah individu yang berpindah dari satu negara ke negara lain dengan tujuan menetap. Biasanya, perpindahan ini dilakukan atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan.
Imigran terbagi menjadi dua kategori, yaitu imigran legal yang mengikuti peraturan imigrasi, dan imigran gelap yang masuk ke negara lain tanpa mengikuti aturan yang berlaku.
"Imigran itu perpindahan yang dilakukan tanpa adanya ancaman atau tekanan. Sementara pengungsi terpaksa meninggalkan negaranya karena konflik, bencana, atau ancaman lain yang serius. Pengungsi juga tidak lagi mendapatkan perlindungan dari negara asalnya," jelas Faisal.
Ia menekankan bahwa pengungsi memiliki hak untuk mencari perlindungan di negara lain, dan status mereka diakui secara hukum internasional.
Faisal juga menambahkan bahwa kedatangan pengungsi ke Aceh harus ditangani sesuai dengan aturan yang berlaku, baik dari segi hukum maupun penanganan sosial.
"Kita perlu memastikan bahwa fenomena kedatangan pengungsi ini ditangani dengan baik dan sesuai aturan. Penanganan yang tepat akan memudahkan integrasi mereka serta mencegah masalah sosial di kemudian hari," katanya.
Ketua AJI Banda Aceh, Reza Munawir, juga memberikan pandangannya dalam diskusi tersebut.
Ia mengajak para jurnalis, baik dari AJI maupun organisasi lainnya, untuk memberitakan kedatangan pengungsi dengan pendekatan yang humanis.
Menurutnya, pers memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk opini publik, sehingga jurnalis harus teliti dalam menyajikan informasi.
"Selama ini, ada narasi negatif yang dihembuskan oleh oknum-oknum tertentu untuk mempengaruhi opini masyarakat terkait pengungsi. Kita sebagai jurnalis tidak boleh terjebak dalam narasi tersebut. Tugas kita adalah melakukan verifikasi yang akurat sebelum menyajikan informasi ke publik," tegas Reza.
Ia menambahkan bahwa jurnalis harus menjadi penghubung yang humanis antara pengungsi dan masyarakat lokal. Dengan pemberitaan yang objektif dan empati, pers dapat mencegah terjadinya konflik sosial dan stereotip negatif terhadap para pengungsi.
"Pemberitaan yang kita buat berdampak besar pada pemikiran masyarakat. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan bertanggung jawab atas setiap informasi yang kita sampaikan," tutup Reza. [nh]