Kontroversi Maklumat Kapolri, Pengamat: Polisi Tidak Terlalu Paham Substansi Demokrasi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Pengamat Politik, Firman Noor [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menerbitkan maklumat bernomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) pada Jumat (1/1/2021).
Dalam maklumat tersebut, terdapat ayat 2d yang menekankan kepada masyarakat agar tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten yang berkaitan dengan FPI di website maupun media sosial.
Ayat 2d ini kemudian riuh dengan kontroversi lantaran dianggap memberangus kebebasan para warga terhadap transparansi informasi dan kebebasan berekspresi.
Pengamat politik, Prof Dr Firman Noor menilai maklumat kapolri seperti itu disebut sebagai sebuah cerminan dimana kondisi demokrasi Indonesia sedang terancam.
"Meskipun belakangan ada semacam penjelasan dari pihak polisi sendiri, tapi keluarnya maklumat seperti itu mencerminkan bahwa negara yang diwakili oleh polisi tidak terlalu paham mengenai substansi demokrasi," ujar Firman, kepada Dialeksis.com, Selasa (5/1/2021).
Ia berujar, demokrasi sebagai pilar dalam sistem perpolitikan Indonesia juga mensahkan atau memberikan ruang yang sangat luas bagi kebebasan berekspresi termasuk di dalamnya kebebasan bersyarikat dan kebebasan berbicara.
"Jadi, kalau kita berkomitmen untuk demokrasi maka hal seperti ini (maklumat kapolri tentang larangan FPI) sebenarnya tidak diperlukan," jelas Firman.
Secara konstitusional, negara yang menganut sistem demokrasi sudah dengan jelas menyatakan kebebasan bersyarikat dan berkumpul. Akan tetapi, dengan adanya keputusan seperti itu, lanjut Firman, hal demikian sudah bertabrakan dengan semangat berdemokrasi, apapun alasannya.
Selain itu, menyikapi tudahan Ormas FPI yang dituduh sebagai sebuah syarikat terorisme, Firman mengatakan perlu ada pembuktian secara mendalam.
Menurutnya, tuduhan terorisme kepada FPI atau yang disangkakan sebagai ormas radikal merupakan isu jual beli yang dimainkan penguasa kepada para simpatisan dan masyarakat luas.
Firman mengatakan, mustahil bagi selevel negara dengan segala perangkat yang dimiliki tidak mampu membuktikan. "Kalau soalnya hanya kelentingan itu apa bedanya negara dengan buzzer," terangnya.
"Tuduhan bahwa ini teroris, saya katakan itu tuduhan yang sangat serius bukan tuduhan yang sambil lalu. Kecuali alasannya politis, hanya ingin sekedar mencitrakan buruk saja pada yang dianggap musuh negara," tambahnya lagi.
Negara Indonesia merupakan negara hukum. Sehingga, lanjut Firman, apapun yang dilakukan oleh negara harus atas dasar hukum. Artinya, pembuktian teroris atau tidak mesti dibuktikan secara hukum dan secara akademis.
Sementara itu, terbitnya maklumat kapolri larangan FPI pasca Ormas itu dilarang eksis di Indonesia ikut menimbulkan pertanyaan besar. Pasalnya, sejak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dilarang, tidak ada maklumat kapolri yang bernada sama atau sesuai dengan maklumat tersebut.
Pengamat politik itu menganggap, keluarnya maklumat kapolri pada masa FPI mengindikasikan sebuah permainan yang tidak cantik dari pemerintah untuk memberangus kalangan kritis.
"Ini ketahuan sekali, tapi yang ingin saya sampaikan adalah ada ketidak konsistenan dalam penerapan hukum di Indonesia saat ini," katanya.
Kemudian, adanya spekulasi dari masyarakat terhadap keterikatan maklumat kapolri yang keluar dengan pengumuman penyelidikan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap penembakan enam laskar FPI di pekan kedua Januari nanti yang dianggap sebagai antisipasi pihak kepolisian, Firman mengaku tidak bisa berkomentar banyak.
Menurutnya, tidak ada kaitan maklumat kapolri yang diterbitkan dengan laporan penyelidikan Komnas Ham. Firman menyatakan, tidak sekompleks itu antisipasi yang dilakukan oleh polisi dan merupakan sebuah kebetulan saja.
"Garis kepentingan antara Komnas HAM dan Kapolri saya kira tidak terlalu konekted dan hanya kebetulan aja," tutupnya.