Korupsi Aceh, Korsupgah KPK: Sistem Informasi di Bener Meriah Belum Memadai
Font: Ukuran: - +
Bupati Bener Meriah Ahmadi (tengah), menggunakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pascaterjaring operasi tangkap tangan (OTT), di gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/7). - ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
DIAEKSIS.COM | JAKARTA -- Koordinator unit Koordinasi dan Supervisi Bidang Pencegahan (Korsupgah) KPK Asep Rahmat Suwandha mengatakan sistem informasi di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, masih belum memadai.
Hal tersebut disampaikan terkait dengan praktik korupsi yang terjadi di daerah tersebut beberapa waktu belakangan, dimana Ahmadi, Bupati Kabupaten Bener Meriah, menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi pasca di OTT.
"Khusus untuk Kabupaten Bener Meriah, ketika kami masuk di tahun 2016 memang sistem informasi di daerah itu relatif sama sekali belum memadai," papar Asep di KPK, Rabu (11/7/2018).
Dia mengatakan hampir semua aktivitas, baik itu pengadaan, pelayanan, perizinan dan non-perizinan, hampir semuanya dilakukan secara manual.
"Sehingga resiko korupsi sangat besar. Inilah yang kemudian kami dorong terus. Memang bisa dilihat progressnya masih jauh," lanjutnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Asep mengatakan terdapat banyak kendala yang dihadapi Korsupgah dalam melaksanakan tugas pencegahan korupsi-nya di Provinsi Aceh.
"Di Aceh kita punya banyak kendala. Misalnya, untuk pengadaan barang dan jasa, walaupun dia secara organisasi sudah mandiri, tetapi orang di dalam yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa itu belum sepenuhnya menjadi pegawai negeri, sehingga masih ada resiko intervensi dari pihak-pihak yang lain," ujar Asep.
Selain itu, tidak terjadinya sinkronisasi antara sistem perencanaan yang sudah dibuat dan praktek di lapangan juga menjadi salah satu kendala utama.
"Misalnya, untuk pengelolaan APBD. Dia sudah punya sistem perencanaan. Namun, dalam prakteknya, khusus misalnya untuk anggaran tahun 2018, kemaren ada masalah," lanjut Asep.
Asep mengungkapkan, terjadi ketidaksepakatan antara Gubernur Aceh dan DPR Aceh untuk Anggaran Pemerintah Aceh tahun 2018, sehingga anggaran tersebut tidak dikeluarkan secara penuh, dan tidak melalui Peraturan Daerah (Perda), melainkan Peraturan Gubernur (Pergub).
"Kenapa ini terjadi? Karena ada ketidaksepakatan antara DPRA dan Gubernur sampai batas waktu yang tidak ditentukan," jelasnya.
Disampaikan juga, bahwa Aceh justru merupakan Provinsi atau wilayah Provinsi yang pertama kali dimasuki KPK dalam pelaksanaan program pencegahan atau koordinasi program supervisi pencegahan di Indonesia.
Asep pun mengatakan, kalau dilihat secara keseluruhan, koordinasi pencegahan korupsi yang dilakukan Pemerintah Provinsi Aceh dengan Korsupgah, secara persentatif masih di atas rata-rata nasional.
Rata-rata persentase koordinasi pencegahan korupsi di Indonesia adalah 31,59%, sementara khusus untuk Provinsi Aceh persentasenya mencapai 44%.
"Dari sisi pemenuhan sistem pencegahan sebenarnya sudah di atas rata-rata," ujar Asep.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pencegahan praktek korupsi sebetulnya tidak dapat dilakukan secara satu arah, tetapi harus melalui proses timbal-balik yang positif antara KPK dan Pemerintah Daerah.
"Pencegahan butuh komitmen kedua belah pihak. Jadi, tidak bisa hanya KPK-nya saja yang masuk, tetapi daerahnya ogah-ogahan," papar Febri. (bisnis.com)