KPPAA Minta Pemerintah Aceh Antisipasi Perkawinan Anak
Font: Ukuran: - +
Reporter : Roni/Biyu
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), meminta kepada Pemerintah Aceh agar memberikan perhatian serius kepada isu perkawinan anak di Aceh.
"Berharap pemerintah Aceh melakukan berbagai upaya pencegahan perkawinan anak di Aceh. Apalagi di masa pandemi ini, beberapa kabupaten kota di Aceh mulai marak pemberitaan tentang perkawinan usia anak dengan berbagai motif dan alasan," ungkap Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih saat dihubungi Dialeksis.com, Sabtu (31/10/2020).
"Jika hal ini tidak diantisipasi segera, dapat merubah cara pandang masyarakat yaitu dengan menikahkan anaknya di usia muda akan menyelesaikan semua masalah seperti masalah ekonomi dan pergaulan bebas. Padahal dengan menikahkan anak dibawah umur justru akan lebih memperpanjang daftar masalah-masalah lainnya," tambahnya.
Ia lenjutkan, masalah yang tidak disadari sebelumnya itu seperti rentannya penelantaran ekonomi keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, stunting, meningkatnya angka kematian ibu dan anak, dan lain-lain.
"Karena itu KPPAA mengajak semua pihak untuk dapat melakukan upaya pencegahan perkawinan anak demi menyelamatkan masa depan anak," tegasnya.
Wakil Ketua KPPAA menjelaskan, dalam buku Profil Gender Aceh yang disusun pada tahun 2017, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh mencatat angka pernikahan usia anak perempuan 16-18 tahun mencapai 19,53 persen, sementara usia 15 tahun ke bawah sebanyak 3,08 persen.
Kemudian, menurut penelitian yang dilakukan oleh Balaisyura Aceh tahun 2019 mencatat, tiga kabupaten di Aceh masih tinggi angka pernikahan anak, yaitu kabupaten Aceh Tengah (522), Baner Meriah (393) dan Aceh Barat Daya (317).
Beberapa alasan yang menyebabkan para orangtua menikahkan anaknya seperti factor ekonomi, dengan menikahkan anak berharap beban ekonomi keluarga menjadi berkurang. Kemudian alasan lainya yakni perjodohan, pergaulan bebas dan hutang piutang.
Padahal dalam UU No 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.
Selanjutnya dalam pasal 7 ayat 3 UU berbunyi, jika pasangan menikah kurang dari umur 19 tahun seperti dimaksud dalam UU tesebut, maka ada hal-hal yang perlu dilakukan. Orangtua pihak pria dan wanita dapat meminta dispensasi ke pengadilan dengan memberikan alasan serta bukti pendukung yang kuat.
Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
Wakil Ketua KPPAA menjelaskan, Saat ini pihaknya kesulitan mendapatkan data tentang pernikahan anak di Aceh, karena masih banyak pernikahan anak yang dilakukan secara sirri dan rata-rata tidak tercatat.
Selain itu, lanjutnya, pernikahan anak juga belum menjadi isu prioritas pemerintah. Selama ini juga belum ada tindakan dan sanksi yang tegas diberikan kepada orangtua dan penghulu yang menikahkan mempelai pengantin yg masih berusia anak, sehingga maraknya pernikahan anak masih dianggap biasa-biasa saja dan bukanlah hal yang luar biasa.
Ayu Ningsih memaparkan, padahal jika orangtua dan masyarakat mengetahui dampak dari perkawinan anak ,tentu saja mereka tidak akan menikahkan anaknya saat masih berusia belia.
Alasan mengapa perkawinan anak harus dilarang, pertama, perkawinan anak merupakan salah satu penyebab dari tingginya angka perceraian, karena anak-anak tersebut belum matang secara fisik, mental, dan spiritual untuk mengemban tanggung jawab yang diperlukan dalam mempertahankan hubungan perkawinan.
Kedua, perkawinan anak berdampak buruk pada kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkawinan anak memaksa anak putus sekolah dan menjadi pengangguran sehingga menghambat program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah.
"Dengan lebih dari 90 persen perempuan usia 20-24 tahun yang menikah secara dini tidak lagi bersekolah, tidak heran bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia mengalami penurunan," jelas Ayu Ningsih.
Ketiga, perkawinan anak menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Data global menunjukkan bahwa bagi anak perempuan yang menikah sebelum umur 15, kemungkinan mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga meningkat 50 persen. Selain karena ketimpangan relasi kuasa, para pengantin muda cenderung penuh emosi sehingga gampang emosi.
Keempat, perkawinan anak menyebabkan berbagai isu kesehatan. Para pengantin anak memiliki risiko tinggi menghadapi berbagai permasalahan kesehatan. Tingginya AKI (angka kematian ibu) setelah melahirkan disebabkan karena ketidaksiapan fungsi-fungsi reproduksi ibu secara biologis dan psikologis.
Anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun.
Selain kesehatan ibu, angka kematian bayi bagi ibu remaja juga lebih tinggi dan 14 persen bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur. Kemungkinan anak-anak tersebut mengalami hambatan pertumbuhan (stunting) selama 2 tahun juga meningkat sebanyak 30-40 persen.
"Kelima, perkawinan anak bisa menyebabkan ledakan penduduk karena tingginya angka kesuburan remaja Indonesia. Jika angka kelahiran remaja tidak dikendalikan, program pemerintah lain seperti program pengentasan kemiskinan dan wajib belajar 12 tahun akan terbebani," pungkasnya.