KPPAA Miris dengan Putusan Mahkamah Syariah Aceh tak Berpihak Terhadap Korban
Font: Ukuran: - +
Wakil Ketua KPPA, Ayu Ningsih. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Ketua Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh Ayu Ningsih, sangat kecewa dengan Putusan Hakim Mahkamah Syariah Aceh yang lagi-lagi membebaskan pelaku pemerkosaan terhadap anak kandung sendiri.
Hal ini, lanjutnya, merupakan preceden yang buruk bagi penegakan hukum di Aceh, bagaimana tidak, tahun ini saja Mahkamah Syariah Aceh sudah membebaskan bebas 3 pelaku pemerkosaan terhadap anak, dengan dalih tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur, dalam hal ini kita semua sangat menghargai independesi hakim dalam memutus perkara.
"Tapi setidaknya hakim juga harus mempertimbangkan beberapa hal dalam mengadili perkara-perkara pemerkosaan terhadap anak, yang penanganan dan penyelesaiannya tidak bisa disamakan dengan perkara-perkara kriminal biasa," ujarnya.
Menurutnya, selama ini pembuktian kasus dan/ perkara kekerasan seksual/incest, masih disamakan dengan pembuktian kejahatan pada umumnya. Padahal dalam banyak peristiwa kekerasan seksual terhadap anak kerap terjadi di ruang privat sehingga tidak tersedianya saksi dan tidak adanya bukti fisik yang secara langsung melihat mengenai terjadinya peristiwa tersebut, yang tersedia hanyalah keterangan anak sebagai saksi korban.
"Apalagi untuk memintai keterangan anak sebagai saksi korban tidaklah mudah diperoleh, diperlukan cara dan metode khusus untuk dapat memperoleh keterangan dari anak yang menjadi saksi korban, karena itu hakim seharusnya lebih jeli dalam menguak fakta-fakta persidangan dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak," jelasnya lagi.
Selain itu sistem pembuktian dalam KUHAP masih membebani korban, karena masih ada pemahaman bahwa dalam kasus kekerasan seksual harus ada saksi yang melihat langsung kejadian. Hal ini kemudian menjadi beban dalam pembuktian oleh korban, termasuk juga menyediakan visum, bahkan sperma pelaku sebagai barang bukti.
Akhirnya dengan dalih dan alasan tidak cukup bukti, mengakibatkan pelaku tidak dapat ditahan, dihentikan penyidikannya, bahkan mendapatkan vonis bebas dari pengadilan.
Dengan beberapa kejadian ini tentunya masyarakat semakin kecewa dan beranggapan Pengadilan Mahkamah Syariah Aceh tidak cukup capable dalam mengadili perkara-perkara jinayat dan sudah selayaknya Pemerintah Aceh bersama DPRA melakukan evaluasi kembali terhadap kewenangan mengadili perkara jinayat (pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak) yang telah diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 50 Qanun Jinayat Aceh dan mengembalikan kewenangan mengadili perkara-perkara jinayat (pidana) terhadap kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak kepada Pengadilan Negeri.
Sudah saatnya DPRA melakukan revisi terhadap Qanun Jinayat Aceh atau mencabut 2 pasal krusial (pasal 47 dan 50) untuk menyelamatkan anak-anak aceh dari kejahatan seksual yang semakin marak terjadi.
Dukungan dan Partisipasi public untuk mendukung Revisi Qanun Jinayat atau pencabutan 2 pasal yang bermasalah dalam Qanun Jinayat sangat diperlukan untuk masa depan anak-anak Aceh.
Selain itu Pemerintah Aceh Perlu menempatkan orang-orang yang capable dan berintegritas di Pengadilan Mahkamah Syariah, jika dibutuhkan pemerintah aceh perlu merekrut hakim-hakim ad hoc yang kapasitasnya tidak diragukan lagi, para hakim yang memiliki inovasi dalam membuat dan menemukan hukum-hukum baru melalui putusan-putusan yang dibuatnya berdasarkan sosial justice (keadilan masyarakat), legal justice (keadilan berdasarkan perundang-undangan) untuk mencapai presice justice (penghargaan tertinggi untuk keadilan).
- Kejari Aceh Besar Tetapkan Tiga Tersangka Pembangunan Jetty Kuala Krueng Pudeng Lhoong
- BPKP Aceh Dampingi PDAM Tirta Mountala, Harap Bisa Penuhi Kebutuhan Rakyat
- Sekda Harapkan Cakupan Vaksinasi Covid-19 Tahap 2 Sama Baiknya dengan Tahap 1
- Sekda Aceh Serahkan Penghargaan Kepada Kepala Sekolah di Singkil yang Sukses Vaksin Siswa