KPPAA Nilai Kekerasan Berbasis Gender Online Dapat Disebabkan Dalam Pacaran
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Komisioner KPPAA, Ayu Ningsih. [Foto: Dialeksis/Achmad]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi di dunia maya. Tindak kekerasan ini harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender. Jika tidak, tindak kekerasan tersebut masih termasuk dalam kekerasan umum di ranah online.
Komisioner Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Ayu Ningsih mengatakan korban kekerasan berbasis gender online juga dapat dipicu oleh hubungan asmara yang toxic.
Terkadang, banyak anak-anak yang berpacaran pernah mengirimkan foto atau gambar yang bersifat pornografi atau vulgar, dan disaat terjadi kekerasan seksual, korban tidak akan berani melapor dan terjebak dalam ancaman pelaku yang akan menyebarkan foto atau gambar si korban ke sosial media.
Untuk itu, orangtua harus memantau perkembangan anak dan mengawasi penggunaan gadget serta memeriksa apapun isi dari Smartphone yang dipakai sang anak.
Ayu mangatakan, jika ada oragtua yang gaptek maka ini menjadi sebuah tantangan bagi orangtua harus belajar smartphone, karena jangan sampai mudah dimanipulasi oleh anak.
"Jika ada hal hal yang mencurigakan di HP, panggil dia dan tanya kenapa. Orangtua harus membuka buka ruang komunikasi jangan langsung dimarahi," ujarnya saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (13/12/2021).
Lanjutnya, setiap orangtua harus menjadi tempat curhat anak, lebih-lebih disaat anak sudah mulai suka dengan lawan jenis, jangan sampai anak bertanya ke google.
Kemudian, kata Ayu, adanya dilema Qanun Jinayat yang sering terjadi yang awalnya korban dan disaat penyelidikan atau pengakuan sudah dituntut dengan pasal zina anak, sehingga korban juga terseret jadi tersangka.
"Seperti di Pidie, ada kekerasan seksual korban dan pelaku di cambuk pakai pasal zina anak. Ternyata latar belakang korban dari keluarga brokenhome orangtua berpisah punya anak 5, kemudian sibuk bekerja sehingga luput memperhatikan anak-anaknya," jelasnya lagi.
Menurut Ayu, kurangnya sosialisasi pengawasan anak kepada orangtua juga dapat menyebabkan terjadi kekerasan berbasis gender online.
"Apalagi anggaran untuk kabupaten kota untuk perlindungan anak perempuan sangat kecil. Jika lembaga layanan dibubarkan mau bagaimana masyarakat melaporkan, siapa yang akan menerima laporan masyarakat, anggaran makin lama makin kecil," terangnya.
Ayu menyebutkan, perlu ada regulasi mendesak dalam mengatur penggunaan gadget pada anak, apalagi akses wifi di warung kopi dan cafe sudah ada 24 jam, jadi ada anak yang bebas menggunakan itu dan belum ada sebuah aturan yang mengatur.
"Lalu, siapa yang akan mengawasi ini, lembaga pengawas juga terancam tidak ada lagi sedangkan PR kita masih banyak. Alasan tidak ada anggaran tapi Silpa semakin banyak, anggaran untuk program perempuan dan anak sangat sedikit, padahal anak generasi masa depan," pungkasnya.