kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / KPPAA Sesalkan Kasus Ayah Bakar Anaknya di Aceh Utara

KPPAA Sesalkan Kasus Ayah Bakar Anaknya di Aceh Utara

Rabu, 18 November 2020 12:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Roni/Biyu
Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih. [IST]

DIALEKSIS.COM | Aceh Utara - AB, bocah penyandang disabilitas (tunawicara/bisu) yang masih berusia empat tahun, asal Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, dibakar ayahnya pada bagian muka dengan api dari sisa seikat daun kelapa kering yang terbakar. Kini, kasus tersebut sudah ditangani Penyidik Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Aceh Utara setelah dilaporkan oleh nenek korban.

Menanggapi kasus tersebut, Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) menyesalkan kejadian seorang ayah yang tega membakar anak kandungnya sendiri, yang notabene merupakan seorang anak balita yang berkebutuhan khusus.

"Kejadian ini menunjukkan kurangnya kesabaran orangtua dalam mendidik anaknya dan kurangnya sosialisasi terhadap undang-undang perlindungan anak kepada seluruh masyarakat," ujar Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih kepada Dialeksis.com, Rabu (18/11/2020).

"Hal ini sehingga berdampak pada meningkatnya angka kekerasan terhadap anak yang pelakunya adalah orang terdekat yang seharusnya melindungi dan mengayomi anak-anak agar terhindar dari kekerasan dan penelantaran, bukannya malah melakukan kekerasan terhadap anak," tambahnya.

Wakil Ketua KPPAA itu melanjutkan, ironinya seringkali pelaku kekerasan terhadap anak yang kerap dilakukan orangtuanya sendiri, mengakui mereka melakukannya karena khilaf, padahal dampak dari kekerasan yang dilakukannya dapat mengakibatkan korban mengalami luka dan berdarah, cacat atau bahkan berujung pada kematian.

"Selain itu maraknya kekerasan terhadap anak dapat diasumsikan juga karena rendahnya kesadaran orangtua atau masyarakat serta akibat dari tontontan yang tidak mendidik dalam mengakses berbagai informasi," ungkap Ayu.

Ia menjelaskan, biasanya orang yang paling sering “rawan khilaf” melakukan kekerasan terhadap anak, adalah seorang yang pecandu obat-obatan terlarang, pemabuk, sedang mengalami masalah ekonomi, korban PHK, menanggung beban yang berat dan lain sebagainya.

"Anak menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan dan tekanan yang dihadapi orangtuanya karena dipandang sebagai beban. Anak-anak yang tidak dikehendaki biasanya paling potensial menjadi korban karena sikap orangtua yang tidak sabar," jelas Ayu.

"Tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua umumnya menjadi kasus yang paling sulit dibongkar, apalagi dicegah karena korban biasanya tidak berdaya atau takut melaporkan kekerasan yang mereka alami, apalagi lokasi kejadian terjadinya tindak penganiayaan biasanya di tempat tertutup seperti di dalam rumah," tambahnya.

Meskipun dalam Undang-Undang Perlindungan anak sudah mengatur sanksi yang jelas dan tegas bagi pelaku kekerasan dan penganiayaan terhadap anak, namun KPPAA sangat mengharapkan agar aparat penegak hukum menjatuhkan sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan dan penganiayaan terhadap anak, sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku lainnya.

Penganiayaan anak telah diatur dalam Pasal 76C UU nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Bagi yang melanggar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3,6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.

Apabila korban mengalami luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta. Bila korban dalam hal ini meninggal, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/ataudenda paling banyak RP 3 miliar.

Kemudian, pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya.

"Untuk mencegah agar anak-anak tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan dan penganiayaan dari orangtuanya dengan memberikan penyuluhan agama dan pendidikan parenting kepada calon orangtua dan orangtua," ujar Ayu.

"Kemudian, melakukan sosialisasi tentang undang-undang perlindungan anak dan konvensi hak anak, memperkuat “pageu gampong” dengan melibatkan peran serta kerabat dan masyarakat yang peduli dan mengawasi tindak-tanduk orangtua yang berpontesi menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anak," pungkasnya

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda