Langkah Sesat Tunda Pemilu, Wacana Tertib Politik Ala Orba
Font: Ukuran: - +
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Prof Dr Firman Noor MA. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Prof Dr Firman Noor MA mengatakan, terdapat beberapa indikasi yang menyebabkan kemunduran dalam kehidupan politik di Indonesia. salah satunya ditandai dengan ide penundaan Pemilu 2024.
Ia mengatakan, secara perspektif hukum, ide tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi. Karena secara aturan, masa jabatan presiden dipegang selama 5 tahun sekali.
Meski ia tidak menampik jika konstitusi memungkinkan untuk diamandemenkan (dirubah), namun secara fundamental sifatnya harus memperkuat substansi kenegaraan yang menjadi rasion d’etre sebuah bangsa.
“Amandemen yang dilakukan bilamana merujuk pada makna yang positif pada dasarnya mengarah pada substansi penguatan nilai-nilai kebangsaan dan karakter pemerintahan yang diyakini bersama,” ujar Prof Firman sebagaimana dilansir dari Koran Tempo, Banda Aceh, Selasa (15/3/2022).
Sementara itu, menurut Prof Firman, ide penundaan pemilu yang tengah diwacanakan justru melawan hakikat dari reformasi. Esensi reformasi ialah pembatasan bukan perpanjangan kekuasaan.
“Namun penundaan pemilu, yang berarti memperpanjang kekuasaan setidaknya hingga dua tahun, malah diutarakan kembali dan akan dilakukan didahului dengan amandemen konstitusi,” ungkapnya.
Bila perpanjangan itu dilakukan, kata dia, bisa dijadikan amunisi bagi terwujudnya perpanjangan tiga periode. Bahkan, dengan karakter kekuasaan yang seperti sekarang, segalanya memungkinkan sejauh itu untuk kepentingan elite.
Ia melanjutkan, di era sekarang, pakem dan etika politik termasuk konstitusional kerap digoyahkan oleh kepentingan politisi-populis yang tak ragu mengatasnamakan rakyat demi kelancaran kepentingan diri dan kalangan sekitarnya.
Prof Firman menegaskan, kekuatan politik-populis cenderung membawa ke arah bagi hancurnya pakem politik yang selama ini dijunjung. Sehingga, populisme yang menyerang dan melecehkan standar politik konvensional yang notabenenya dipandang usang dan elitis, justru menjadi penyebab runtuhnya etika politik.
Di sisi lain, pengamat politik itu menyatakan, tendensi kemunduran politik yang ditandai dengan hadirnya tokoh populis dan hilang rasa malunya untuk melabrak rambu-rambu kepatutan dan etika politik terlihat menggejolak di Indonesia.
Gejala kemunduran lain, tambahnya, dari cari pandang yang mendahulukan kepentingan tertib sosial dengan memberangus hak-hak politik demokratik.
“Perspektif politik semacam ini merupakan khas rezim-rezim otoriter, termasuk Orde Baru, yang dalam upaya membangun dan menyusul ketertinggalan atau memantapkan ekonominya lebih mendahulukan stabilitas politik,” jelasnya.
Saat ini, jelas Prof Firman, negara-negara yang paling stabil dan sejahtera adalah negara yang menjalankan demokrasi secara murni dan konsisten. Pelaksanaan pemilu yang telah berlangsung berkali-kali di Indonesia, termasuk pemilu lokal tidak terkorelasi secara meyakinkan menjadi penyebab instabilitas dan kemunduran ekonomi.
“Dengan membaca realitas politik sekarang, pilihan yang harus dilakukan bagi bangsa kita saat ini adalah jelas, tidak lagi memaknai amandemen secara sembarangan dan tidak lagi kembali berargumen dengan wacana tertib politik ala Orde Baru. Namun melanjutkan kerja-kerja demokrasi sebagai penyeimbang kerja-kerja ekonomi yang sama-sama dibutuhkan oleh kita semua” pungkasnya. (Tempo)