Sabtu, 27 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / Legalisasi Tambang Rakyat Dinilai Jalan Tengah Penertiban Tambang Ilegal di Aceh

Legalisasi Tambang Rakyat Dinilai Jalan Tengah Penertiban Tambang Ilegal di Aceh

Jum`at, 26 September 2025 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Dukung Intruksi Gubernur Aceh, APRI Aceh Selatan : Legalisasi Tambang Rakyat, Jalan Tengah Penertiban Tambang Ilegal di Aceh. Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Aceh Selatan - Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menegaskan sikap keras terhadap praktik tambang ilegal di Aceh

Ia memberi ultimatum agar seluruh alat berat segera dikeluarkan dari hutan, seraya menyiapkan Instruksi Gubernur untuk menata dan menertibkan tambang ilegal, yang nantinya diarahkan agar bisa dikelola oleh masyarakat dan UMKM.

Langkah tegas ini langsung mendapat dukungan dari Ketua Dewan Pimpinan Cabang Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (DPC APRI) Aceh Selatan, Delky Nofrizal Qutni. 

Menurutnya, penertiban tambang ilegal, khususnya yang menggunakan alat berat, adalah langkah penting demi menyelamatkan hutan dan ekosistem Aceh. Namun, ia mengingatkan bahwa penertiban semata tanpa jalan keluar justru bisa memperdalam konflik. 

Delky mendorong agar Gubernur Mualem segera melahirkan Qanun Pertambangan Rakyat sebagai dasar hukum legalisasi tambang rakyat.

“Penertiban penting, tapi jangan sampai rakyat kehilangan ruang hidupnya. Legalisasi tambang rakyat adalah solusi agar tidak ada lagi kebocoran PAD, rakyat terlindungi secara hukum, dan lingkungan bisa dikelola dengan standar yang jelas,” tegas Delky, Kamis 25 September 2025.

Masalah tambang ilegal di Aceh memang sudah mencapai skala mengkhawatirkan. DPR Aceh mengungkap ada sekitar 1.000 unit ekskavator yang bekerja di hampir 450 titik tambang ilegal tersebar di berbagai kabupaten. Aktivitas itu bukan hanya merusak hutan, tapi juga melahirkan praktik rente dengan penyetoran “uang keamanan” yang nilainya ditaksir mencapai Rp360 miliar per tahun ke oknum aparat. 

Walhi Aceh pernah mencatat kerusakan hutan akibat tambang emas ilegal di Aceh Barat saja sudah mencapai 5.000 hektare dalam lima tahun terakhir, sementara temuan mereka di seluruh Aceh menunjukkan kerusakan di kawasan hutan lindung dan produksi sudah menembus hampir 5.000 hektare.

Di sisi lain, data resmi Dinas ESDM Aceh mencatat luas pertambangan tanpa izin hanya sekitar 1.720 hektare. Namun Walhi memperkirakan luasnya mencapai 3.500 hektare, atau hampir dua kali lipat. Selisih 49 persen antara data resmi dan lapangan menunjukkan betapa besarnya aktivitas ilegal yang luput dari pencatatan negara.

Kerugian ekonomi akibat tambang ilegal ini pun tidak main-main. Dari potensi emas dan mineral yang ditambang tanpa izin, Aceh kehilangan setidaknya ratusan miliar rupiah PAD setiap tahun.

Hitungan kasar, jika 1.000 ekskavator rata-rata menghasilkan dua kilogram emas per bulan, maka ada sekitar 24 ton emas yang keluar setiap tahun tanpa mekanisme pajak dan royalti resmi. 

Dengan harga emas rata-rata Rp1,2 miliar per kilogram, potensi ekonomi yang “hilang” mencapai Rp28 triliun per tahun. Angka ini kontras dengan penerimaan resmi dari sektor pertambangan Aceh selama lima tahun terakhir yang hanya sekitar Rp1,58 triliun dari royalti dan iuran tetap. Inilah “kebocoran” yang disebut Delky sebagai akibat dari absennya regulasi.

Menurut Delky, ketidakjelasan status tambang rakyat hanya memperlebar jurang ketidakadilan. Ribuan keluarga penambang rakyat diposisikan sebagai kriminal, sementara perusahaan besar bebas mendapat izin eksplorasi. 

Ia mendesak Gubernur Aceh menghentikan sementara pemberian izin baru kepada perusahaan tambang sampai peta wilayah pertambangan ditetapkan dengan jelas. Skema pembagian WIUP, WPR, dan WIUPK harus dituntaskan terlebih dahulu agar rakyat tidak terus-menerus menjadi penonton.

Delky juga mengusulkan agar eksplorasi dan eksploitasi dilakukan secara partisipatif melalui koperasi pertambangan, sementara pemerintah mendorong hilirisasi melalui investasi sebagaimana visi Presiden RI Prabowo Subianto. Dengan begitu, hasil tambang bisa memberi manfaat langsung kepada masyarakat di hulu, sementara investasi hilir tetap berjalan untuk menambah nilai tambah dan lapangan kerja baru.

Selain itu, Delky menilai setiap daerah penghasil tambang di Aceh perlu membentuk BUMD khusus pertambangan. BUMD ini akan menjadi instrumen hukum sekaligus ekonomi untuk memperkuat posisi tawar daerah. Model ini sudah terbukti berhasil di Kalimantan dan Sulawesi, yang mampu meningkatkan PAD dan memberi kontrol lebih kepada pemerintah daerah atas aktivitas pertambangan.

Delky meyakini mayoritas tambang ilegal yang beroperasi dengan alat berat tersebut bukan dari masyarakat, tetapi dari pihak lainnya yang punya modal besar. Sementara masyarakat selama ini hanya mampu mengolah dengan cara manual dan tradisional tanpa alat berat.

"Dengan adanya legalisasi tambang rakyat, maka peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam lebih kongkret," ujarnya.

Bagi Delky, sikap tegas Mualem bisa menjadi momentum emas untuk menata ulang pertambangan di Aceh. Tetapi momentum itu hanya akan berbuah jika diikuti dengan regulasi yang melindungi kepentingan rakyat. 

“Kalau hanya penertiban, rakyat akan semakin terpinggirkan. Tapi kalau ada legalisasi tambang rakyat, ini akan menjadi titik balik bahwa Aceh benar-benar mewujudkan amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
bpka - maulid