MA Bolehkan Eks Napi Koruptor Nyaleg, Pengamat: KPU Blunder
Font: Ukuran: - +
Foto : Gedung Mahkamah Agung/sindonews.com
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh- Putusan Mahkamah Agung (MA) yang diketuk pada Kamis (13/9/2018) telah memberikan titik terang terhadap polemik boleh tidaknya mantan narapidana, khususnya narapidana korupsi, mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif. Akhirnya MA membolehkan mantan narapidana , baik eks koruptor, napi narkoba dan kejahatan seksual mencalonkan diri sepanjang sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.
Sebagaimana dilansir hukum online, Majelis hakim yang terdiri tiga hakim agung yakni Irfan Fachrudin, Yodi Martono, Supandi dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018 yang dimohonkan Wa Ode Nurhayati dan KPU sebagai termohon, telah membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019.
kedua Peraturan KPU tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain itu materi PKPU itu juga dinilai oleh MA bertentangan dengan Putusan MK No. 71/PUU-XIV/2016 yang telah memperbolehkan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif sepanjang yang bersangkutan mengumumkan kepada publik bahwa dirinya merupakan mantan terpidana.
Terkait dengan hal tersebut, Pengamat Politik dan Keamanan Aceh Aryos Nivada menjelaskan bahwa putusan MA tersebut terang benderang menjelaskan bahwa PKPU memang tidak boleh bertentangan dengan UU. Aryos menilai bahwa Putusan MA tersebut menjamin hak konstitosional seseorang untuk dipilih sebagaimana amanat UUD dan UU Pemilu.
" secara aturan hukum jelas bahwa PKPU merupakan aturan pelaksana dari UU Pemilu. jadi pada dasarnya memang dari awal sudah kita sampaikan tidak boleh bertentangan dengan UU Pemilu. lagipula hak untuk dipilih merupakan hak konstitusional seseorang yang diberikan oleh UUD dan UU Pemilu. tentu tidak bisa hak konstitusional seseorang untuk dipilih itu dicabut oleh PKPU. melainkan harus dengan UU juga atau Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian jelas sudah berakhir polemik eks napi boleh atau tidak mencalonkan diri. Putusan MA itu sudah bersifat final dan mengikat. Sehingga dalam hal ini KPU harus mengakomodir Caleg narapidana untuk dimasukan dalam daftar calon. Sepanjang yang bersangkutan memenuhi ketentuan UU Pemilu. " jelas dosen FISIP Unsyiah ini melalui keterangan pers yang diterima media ini, Jumat (14/09/2018).
Terlepas dari itu, aryos memahami semangat KPU agar parlemen diisi oleh orang bersih dan bukan koruptor. namun tentunya semangat tersebut harus dijalankan tanpa melabrak aturan undang undang. Bila tetap dipaksakan, maka KPU akan blunder
"oke, ada yang mengatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga tidak boleh ada second chance bagi mantan koruptor untuk kembali masuk ke pemerintahan. Namun kembali lagi pencabutan hak konstitusional itu harus melalui UU atau Putusan Pengadilan. Bukan Peraturan teknis pemilu. Blunder KPU kalau melakukan itu. lagipula dalam pandangan hukum, seorang narapidana itu dianggap sudah lagi tidak bersalah dan terbebas dari kesalahan masa lalunya karena yang bersangkutan sudah menjalani hukuman. Putusan MA ini tak pelak sebenarnya pukulan telak terhadap profesionalitas dan integritas KPU. Publik akan melihat bahwa spirit KPU agar parlemen tidak diisi koruptor dilakukan melalui cara cara yang bertentangan dengan Undang Undang" tegas aryos.
Disisi lain, aryos juga melihat KPU seperti ada semacam standar ganda terhadap mantan narapidana yang mencalonkan diri menjadi caleg, terutama eks koruptor. Disatu sisi KPU melarang tegas mantan koruptor menjadi caleg. Namun larangan tersebut tidak diberlakukan di internal KPU Sendiri.
"Berbanding terbalik dalam memperlakukan calon legislatif. KPU semacam ada standar ganda dalam melihat narapidana. KPU tidak tegas dalam mencegah institusinya sendiri dari peluang masuknya para mantan narapidana, baik koruptor, mantan penjahat narkoba dan seksual . Coba lihat Dalam PKPU No.27 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No.7/2018 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. KPU justru tidak melarang mantan napi, baik korupsi, mantan penjahat narkoba atau penjahat kelamin untuk mendaftar sebagai anggota komisioner di KPU, baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. padahal ini penting karena menyangkut integritas penyelenggara. Sebab sebelumnya banyak temuan dan laporan yang masuk ke DKPP terkait pelanggaran kode etik, termasuk penyelenggara menerima sogokan. harusnya larangan eks napi ini dilakukan dulu di level penyelenggara sebagai rule model" pugkas aryos. (HH)