Beranda / Berita / Aceh / Maraknya Warung Kopi di Banda Aceh, Tradisi atau Anomali Ekonomi?

Maraknya Warung Kopi di Banda Aceh, Tradisi atau Anomali Ekonomi?

Sabtu, 25 Januari 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Herman RN, budayawan, seniman, sekaligus dosen FKIP Universitas Syiah Kuala. Foto: dok pribadi


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Awal tahun 2025 menandai semakin maraknya warung kopi di Banda Aceh. Berbagai konsep ditawarkan dari ruang terbuka, eksklusif, hingga yang mencerminkan karakter kedaerahan. Fenomena ini tak sekadar menjadi tren, tetapi juga mengundang berbagai pertanyaan di tengah masyarakat.

Herman RN, budayawan, seniman, sekaligus dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, menilai lonjakan jumlah warung kopi di Banda Aceh sebagai anomali. 

Ia mengaitkan kondisi ini dengan minimnya industri dan kemandirian ekonomi di wilayah tersebut. 

“Fenomena ini perlu ditelusuri secara ilmiah, berbasis data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya kepada Dialeksis.

Herman mengungkapkan sejumlah kemungkinan di balik fenomena ini. Apakah ini bagian dari budaya masyarakat Aceh, modus pencucian uang, strategi modernitas, atau sekadar fanatisme yang berlebihan terhadap tren? 

“Semua asumsi ini harus diuji kebenarannya. Di sinilah peran akademisi, dinas pariwisata, dan pihak-pihak yang peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat Aceh sangat dibutuhkan,” tegasnya.

Menurut Ketua Dewan Kesenian Banda Aceh itu, keberadaan warung kopi yang tak terkendali dapat mengubah karakter dan pola pikir masyarakat Aceh. 

“Jika dampaknya negatif, tentu ini harus menjadi perhatian serius. Namun, jika ada sisi positif, tentu harus dijaga dan dikembangkan,” kata dia.

Ia mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap “ruang anomali” yang ditimbulkan oleh lonjakan warung kopi ini. 

“Fenomena ini harus dikontrol agar tidak membawa efek buruk bagi peradaban, tetapi sebaliknya, mampu memberi dampak positif, termasuk dalam kontribusi ekonomi daerah,” jelasnya.

Herman juga menekankan perlunya strategi keluar (exit strategy) untuk mengelola fenomena ini. Menurutnya, jika sudah ditemukan akar permasalahan dan dampak yang ditimbulkan, langkah penanganan yang tepat perlu segera diterapkan.

“Keberadaan warung kopi harus diarahkan agar tidak hanya mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga tetap menjaga keaslian budaya Aceh,” ujarnya.

Di akhir komentar Herman menyampaikan maraknya warung kopi di Banda Aceh adalah cerminan dinamika sosial yang menarik. 

“Namun, tanpa pengelolaan yang tepat, fenomena ini berpotensi menghadirkan risiko sosial dan budaya yang tidak diinginkan. Kajian mendalam dan kebijakan yang terarah menjadi kunci agar warung kopi tak hanya menjadi tren sesaat, tetapi juga aset ekonomi dan budaya bagi Aceh,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI