DIALEKSIS.COM | Blangkejeren - Pelepasliaran Harimau Sumatera (HS) betina bernama Senja, pada Rabu (21/5/2025) menimbulkan keresahan bagi masyarakat Gayo Lues yang beraktivitas di kaki gunung kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Banyak Masyarakat Gayo Lues menyuarakan keresahan mereka melalui media sosisial Facebook, seperti kekhawatiran HS tersebut akan turun ke area pemukiman masyarakat dan memakan hewan ternak serta ketakutan untuk beraktivitas dikebun yang ada di kaki gunung.
Menjawab keresahan tersebut, Kasi Pengelolaan Taman Wilayah III Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh, Ali Sadikin menyampaikan, masyarakat tidak perlu resah maupun khawatir terhadap HS yang dilepaskan tersebut.
“Senja ini merupakan individu ke enam yang telah kita lepas liarkan di area Taman Nasional Gunung Leuser dimulai dari tahun 2020 pertama dulu Sri Nabila. Kenapa di TNGL? Karena Gayo Lues merupakan tempat rekomendasi untuk dirilisnya HS karena hutan kita masih bagus,” ujarnya, Kamis (22/05/2025).
Ali Sadikin menjelaskan, daya tamping hutan di pegunungan TNGL tersebut masih bagus, pakannya bagus, habitat, ketinggian dan suhunya juga masih bagus. Selain itu, perilisan atau pelepasan harimau tersebut juga jauh dari pemukiman masyarakat butuh delapan-sepuluh hari jalan kaki, untuk sampai ke tempat pelepasan.
“Sebelum perilisan HS ini Kementerian Kehutanan khususnya TNGL melihat masyarakat dan harimau sama pentingnya, jauh-jauh hari kita sudah melakukan study kelayakan yang artinya, pertama kita mencari tahu apakah jika dirilis dilokasi ini maka akan menimbulkan dampak apa untuk masyarakat, itu menjadi pertimbangan paling utama,” jelasnya.
Ia menambahkan, pertimbangan kedua ialah, apakah jika HS tersebut dilepaskan bisa beradaptasi atau tidak, cocok tidak dengan iklim di pegunungan Kedah tersebut karena Senja ini sebelumnya Harimau Sumatera yang berada di daerah panas.
“Kemudian pakan dihabitatnya ini ada rusa, babi dan kijang yang cukup tidak. Ini kita kaji terlebih dahulu, bukan tiba-tiba kita lepaskan begitu saja,” lanjutnya.
Ia juga paham, terhadap ke khawatiran dari masyarakat yang melihat dari sisi ekonomi dan keselamatan. Namun, kantor pengelolaan taman Nasional tersebut memiliki data model yang mengukur kondisi hutan saat ini.
“Kita punya Smart Patrol yaitu sistem yang bisa melihat bagaimana sebenarnya kondisi hutan saat ini. Dari hasil kajiannya di Aceh, khususnya di Gunung Leuser tempat yang bagus itu Cuma di Kapi atau di Kedah. Apa dasarnya? Dari data model yang kita lihat, dari satuan mangsa seperti kijang, kembing hutan, babi dan lain-lain yang padat populasinya didalam hutan.” jelasnya.
Ia menjelaskan, karakteristik HS umur 4-5 tahun mulai hidup secara mandiri dan berpisah dari orangtuanya. Namun, seperti manusia ada yang bisa hidup mandiri dan juga tidak begitu pula dengan anak harimau ini. Jika ia bisa mandiri maka ia hanya akan berjelajar di wilayahnya dan jika tidak bisa baru turun ke permukaan.
“Ketika harimau tidak bisa beradaptasi maka ia akan turun gunung dan saat melihat ternak yang menjadi satwa mangsanya makan akan diburu. Penciumannya tinggi radius 2-3 meter dan ketika ada kerbau atau sapi ya sudah. Ketika mencium aroma manusia, harimau akan menjauh karena harimau sifatnya tidak akan menyakiti manusia kecuali dalam keadaan terancam,” jelasnya.
Ia menambahkan, PR terbesar tim Taman Nasional tersebut memang masalah tapal batas antara kawasan TNGL, Hutan Lindung dan area pemukiman masyarakat. Pada saat penetapan Taman Nasional, tapal batas tersebut sudah dibuat dibantu dengan masyarakat. Hanya saja, saat ini tapal batas tersebut sudah rusak.
“Kalau orangtua zaman dulu pasti masih ingat batasnya. Tanpa adanya tapal bataspun kami sebagai petugas mudah mengaksesnya karena punya GPS, cuma kan masyarakat tidak memiliki akses kesitu dan kami akui itu merupakan kelemahan kita saat ini. Tidak adanya pal batas yang nyata yang dapat dilihat oleh masyarakat,” sebut Ali Sadikin.
Ia menyampaikan, hingga saat ini tidak pernah ada datanya manusia berkonflik langsung dengan harimau di daerah tersebut. Harimau hanya akan menyakiti jika diganggu dan bisa jadi perkebunan warga tersebut merupakan habitatnya dulu yang telah beralih fungsi.
“Dalam dua tiga hari ini, jika masyarakat mengindikasi bahwa ada HS yang turun ke bawah dan curiga bahwa itu merupakan Senja, maka segera laporkan kepada kami di kantor, kita punya mitigasi pencegahan awal. Jika HS ada di sekitaran pemukiman masyarakat kita akan merespon cepat,” ucapnya.
Ia juga mennyarankan, jika masyarakat melihat harimau dalam radius 20-30 meter, lebih baik menghindar dan segera melapor kepada petugas TNGL atau ke Konservasi SDA Aceh.
“Jika dirasa terlalu sulit untuk menemui kami, masyarakat juga bisa melapor ke TNI/Polri di Desa masing-masing agar disampaikan kepada kami,” pesannya. [z]