Masyarakat Pesimis Efektifitas Tim Pembinaan dan Pengawasan MoU Helsinki
Font: Ukuran: - +
Reporter : ASYRAF
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pembentukan Tim Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan MoU Helsinki pada Sekretariat Lembaga Wali Nanggroe menuai polemik dan perbincangan dikalangan masyarakat Aceh. Sejumlah kalangan mempertanyakan efektifitas tim yang dibentuk Gubernur Aceh Nova Iriansyah melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 180/1196/2021 tersebut.
Koordinator Masyarakat Pengawas Otsus (MPO),Syakya Meirizal, pesimis terhadap efektifitas Pembentukan Tim Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan MoU Helsinki tersebut. Sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya dimana pada tahun 2019 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pernah membentuk tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA. Namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Tim advokasi dibentuk dinilai tidak mampu mengawal dan mengadvokasi UUPA dalam menghadapi kebijakan politik nasional.
“Pembentukan tim seperti ini soal efektifitas dari hasil yang diharapkan jauh panggang dari Api. Contohnya ketika Tahun 2019 DPRA juga pernah membentuk Tim kajian dan advokasi MoU Helsinky dan UUPA. Lantas hasilnya apa? Nihil! hanya narasi kosong yang tidak mampu mempengaruhi keputusan politik yang ada di Aceh serta kaitannya dengan kebijakan politik nasional. Contoh lain, isi UUPA yang kemudian ramai diperbincangkan soal Pilkada 2022. Kalau tim advokasi bekerja dengan baik seharusnya ini menjadi output dari tim advokasi. Bahwa mereka berhasil mengamankan kepentingan kepentingan Aceh yang sudah tercantum dalam UUPA agar tidak lagi berbenturan dengan regulasi dan kepentingan politik nasional. Namun sebagaimana kita tahu Pilkada Aceh justru diundur menjadi 2024. ” Ujar syakya kepada DIALEKSIS.COM, Jumat (28/12/2021).
Koordinator Masyarakat Pengawas Otsus (MPO), Syakya Meirizal
Berangkat dari hal tersebut, dirinya pesimis bahwa tim sekarang ini akan ada manfaatnya dalam hal advokasi MoU Helsinky.
“tim kajian dan advokasi UUPA yang dibentuk tahun 2019 yang lalu saja sudah gagal total. Padahal mereka dibiayai uang rakyat Aceh senilai 5 milyar. Berangkat dari situ, kita pesimis bahwa tim sekarang ini akan ada manfaatnya dalam hal advokasi MoU Helsinky. Kita khawatir tim ini hanya sekedar SK hanya untuk sekedar formalitas untuk mencairkan uang rakyat dari APBA. “ tukasnya.
Senada dengan syakya, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, juga menyebut bahwa boro-boro berbicara tim advokasi MoU yang baru dibentuk, tim advokasi sebelumnya saja tidak menunjukan progres apapun bagi pengawalan MoU dan UUPA.
“Awalnya Kita berharap tim ini bisa memberikan dampak signifikan terhadap implementasi butir MoU yang belum terealisasikan. Banyak yang belum terealisir butir MoU, seperti lahan pertanian untuk kombatan. Pembentukan komisi klaim bersama. Kemudian batas Aceh merujuk pada 1 juli 1956. Sejauh mana ini realisasinya ini. Berkaca dari pengalaman tim sebelumnya yang dibentuk, Tidak ada suport dan dorongan dari tim sebelumnya dalam rangka mendorong realisasi butir mou helsinky. Memang Butir butir MoU yang termaktub dalam UUPA paling tidak sudah ada payung hukum. Namun yang belum diadopsi oleh UUPA harus diturunkan dalam regulasi hukum. Sebab MoU bukan regulasi namun hanyalah produk kompromi politik. Kesepakatan politik tersebut harus didorong menjadi sebuah kebijakan pemerintah. ini jelas tugas tim advokasi MoU ” tegas safar.
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin,
Sementara itu menyangkut kompetensi orang orang yang duduk menjadi Tim Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan MoU Helsinki, menurut safar mereka orang orang cerdas. “Namun Pertanyaannya apakah mereka yang ada dalam tim ini punya waktu untuk bekerja. Mengingat mereka mereka semua orang orang sibuk luar biasa. Karena ini bukan persoalan mudah ini berbicara MoU. Ini kan mendorong lahirnya kebijakan.” ujar safar mempertanyakan.
Syakya juga menyatakan terkait Kompetensi anggota tim pembina dan pengawas MoU, dirinya berujar bukan hanya soal kapasitas namun juga berbicara soal integritas, komitmen dan tanggung jawab intelektual.
“Apakah setelah mendapatkan SK ini mereka mampu mempertanggungjawabkannya kepada seluruh rakyat Aceh. Kalau melihat orang orangnya mungkin punya kapasitas, tapi apa mereka memiliki good will untuk benar benar melaksanakan tanggung jawabnya seperti yang tertera dalam SK sebaik mungkin. Itu belum tentu” pungkas syakya.
Berdasarkan penelusuran media ini, sebelumnya pernah dibentuk sejumlah tim dalam rangka advokasi MoU Helsinky dan UUPA di Aceh.
Diantaranya pada tahun 2020, pemerintah pusat pernah membentuk Tim Percepatan Implementasi Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang diketuai kepala staf kepresidenan, Moeldoko. Namun hingga kini belum jelas informasi yang diperoleh terkait kerja tim yang dibentuk pemerintah pusat dalam rangka percepatan implementasi MoU Helsinky.
Kemudian pada tahun 2019, sempat juga dibentuk Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki 2005 dan UUPA oleh DPRA. Tim ini dibentuk dalam rangka mendorong agar pemerintah pusat dan Aceh sendiri konsisten melaksanakan butir-butir komitmen perjanjian damai MoU Helsinki dan UUPA 11/2006. (ASY)