Masyarakat Plu Pakam Gugat Perbup Aceh Utara dengan Uji Materiil di MA
Font: Ukuran: - +
[Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Polemik bergesernya wilayah administrasi akibat diterbitkannya Peraturan Bupati Aceh Utara Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penetapan, Penegasan, dan Pengesahan Batas Wilayah Gampong Blang Pante, Kecamatan Paya Bakong dengan Gampong Plu Pakam Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara, telah mencapai babak baru.
Masyarakat Gampong Plu Pakam pada hari Kamis, 14 Oktober 2021 mendaftarkan gugatan uji materiil di Mahkamah Agung Indonesia yang berkedudukan di Jakarta.
Gugatan ini dilakukan karena Perbup tersebut membuat sebagian wilayah Dusun Biram yang terletak di Gampong Plu Pakam Kecamatan Tanah Luas bergeser menjadi wilayah Gampong tetangganya, Blang Pante Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara.
Perbup tersebut mengabaikan Krueng Keureuto yang selama ini menjadi batas alam antara kedua Gampong ini.
Terbitnya Perbup ini disinyalir disebabkan adanya upaya untuk mengambil keuntungan dari ganti rugi lahan Proyek Strategis Nasional Waduk Keureuto yang berdampak kepada beberapa Gampong di wilayah Kabupaten Aceh Utara, antara lain Gampong Plu Pakam.
Objek ganti rugi yang menjadi sengketa akibat terbitnya Perbup tersebut merupakan eks wilayah HGU PT Satya Agung yang melalui HGU No. 05/1986 meliputi Kecamatan Meurah Mulia dan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara.
Lahan eks PT Satya Agung di Gampong Plu Pakam telah lama ditelantarkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan Surat Keterangan Tanah yang diterbitkan Pemerintah Gampong Plu Pakam sejak 2009.
Sejak proyek pembangunan Waduk Keureuto dimulai pada tahun 2015, telah terjadi dua tahap pembayaran ganti rugi, dimana wilayah bantaran sungai eks HGU PT Satya Agung dibayarkan kepada masyarakat Plu Pakam yang menggarap lahan tersebut.
Anehnya, melalui Perbup tersebut, wilayah pedalaman Dusun Biram yang menjadi objek ganti rugi Tahap Ketiga dikeluarkan dari Gampong Plu Pakam dan menjadi wilayah Gampong Blang Pante yang terletak di seberang sungai, sehingga hak garap termasuk hak ganti rugi masyarakat Plu Pakam atas tanah tersebut pun menjadi hilang, dikarenakan Pemerintah Gampong Blang Pante kemudian menerbitkan SKT untuk warganya sendiri.
Kerancuan ini ditenggarai karena adanya oknum yang ingin mengambil manfaat ganti rugi Tahap Ketiga ini.
Sekretaris APDESI Tanah Luas, Mulya Saputra membenarkan langkah hukum yang diambil Oleh Masyarakat Gampong Plu Pakam tersebut. Bagi Mulya langkah tersebut merupakan langkah yang tepat dan terukur untuk mencapainya keadilan yang selama ini dirasa sudah sangat susah didapat di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh sendiri.
"Tidak ada langkah konkrit dalam penyelesaian sengketa Tapal batas antara Gampong Blang Pante Kecamatan Paya Bakong dengan Gampong Plu Pakam Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara, sehingga masyarakat Plu Pakam membacakan surat Terbuka kepada Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, Alhamdulillah viral, sehingga ada respons dari Pusat.
Lima Pengacara Nasional pun bersedia mengadvokasi kasus kita dan mulai membantu Kasasi di MA, Uji Materil Perbub serta pelaporan adanya dugaan kesepakatan jahat dan mafia tanah ke Mabes Polri hingga pelaporan adanya dugaan gratifikasi dan korupsi ke KPK," kata Mulya.
Mulya menambahkan bahwa keberadaan Perbup tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap banyak peraturan dan surat keputusan, seperti SHGU No. 5/1986 atas nama PT Satya Agung yang secara eksplisit menyebutkan Kecamatan Tanah Luas dan Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, bukan Kecamatan Matang Kuli yang merupakan induk dari Kecamatan Paya Bakong dimana Gampong Blang Pante berada, sebelum kecamatan tersebut dimekarkan pada tahun 2001 berdasarkan Perda Aceh Utara Nomor 11/2001.
Perbup tersebut mengabaikan Surat Keputusan Bupati Aceh Utara Nomor: 592.2/478/2017 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Waduk Krueng Keureutoe di Kecamatan Paya
Bakong dan Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara, dimana wilayah bantaran sungai Keureuto bagian Gampong Plu Pakam dibayarkan ganti ruginya kepada petani penggarap yang mengantongi SKT yang diterbitkan oleh Gampong Plu Pakam.
Perbup tersebut telah menihilkan Surat Keputusan Bupati Aceh Utara tentang penetapan lokasi pengadaan tanah tahap ketiga yaitu SK Nomor 592.2/2/2020 dimana termasuk di dalamnya wilayah pedalaman Dusun Biram Gampong Plu Pakam beserta daftar penerima ganti rugi berdasarkan SKT yang diterbitkan oleh Gampong Plu Pakam.
Oleh karena itu, patut dicurigai Perbup ini memiliki motif untuk menguntungkan dan memperkaya sekelompok pihak, dan merugikan pihak yang lainnya.
Selain melakukan uji materiil ke MA, masyarakat Plu Pakam akan melaporkan ke Bareskrim Mabes Polri mengenai dugaan adanya pemalsuan dokumen, dimana Berita Acara Kesepakatan yang menjadi dasar Perbup tersebut diduga dibuat dengan memalsukan tanda tangan para pihak.
Beberapa pihak yang tanda tangannya muncul di surat kesepakatan tersebut telah mengeluarkan pernyataan di atas materai bahwa mereka tidak pernah menandatangani apapun selain absensi rapat.
Masyarakat juga akan melaporkan ke KPK terkait dugaan tindakan korupsi dengan motif memperkaya diri sendiri atau orang lain akibat munculnya Perbup tsb.
Plu Pakam adalah camp militer pertama GAM untuk wilayah Pasee dan menjadi basis GAM selama bertahun-tahun dikarenakan letak geografis yang sangat sulit untuk dicapai.
Kampung ini adalah salah satu Gampong yang termiskin di kabupaten Aceh Utara, yang merupakan Kabupaten termiskin di Provinsi Aceh, Provinsi Termiskin di Sumatera.
Masyarakat tidak memiliki sawah, dan mengantungkan hidupnya dari tanaman pinang dan kakao. Sayangnya, hari ini pinang mereka tidak berbunga, dan kakao mereka sudah mengeras dan tak berbuah lagi.
Advokasi masyarakat Plu Pakam ini diprakarsai oleh DPD PDI Perjuangan Aceh.
Untuk kontak dan informasi lain mengenai perkara ini, tim advokasi masyarakat Plu Pakam bisa dihubungi di advokasiplupakam@gmail.com