Masyarakat Sipil Aceh Desak PLT Gubernur Serius Urusi Reforma Agraria di Aceh
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Masyarakat Sipil Aceh mendesak Pemerintah Aceh mengambil langkah kongkrit dalam menyikapi terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Pasalnya, Masyarakat Sipil Aceh menilai Plt Gubernur Aceh sebagai representatif dari Pemerintah Aceh belum mengambil langkah apapun pasca terbitnya Perpres tersebut.
Dalam rilisnya yang diterima redaksi Dialeksis.com, kemarin ,Senin (11/3) malam, Masyarakat Sipil Aceh menjelaskan reforma agraria sejatinya dimaksudkan untuk penataan ulang struktur agraria yang sangat timpang, mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah untuk menangani sengketa dan konflik agraria melalui redistribusi tanah yang berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) dan HTI yang telah habis izin ataupun ditelantarkan.
"Padahal berdasarkan catatan Masyarakat Sipil Aceh, saat ini masih banyak terjadi konflik agraria di Aceh, terutama konflik antara masyarakat dengan perusahaan pemegang HGU maupun HTI,"tulis Jubir Masyarakat Sipil Aceh, Mustikal Syahputra dalam rilis tersebut.
Direktur LBH Banda Aceh ini menambahkan, konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan terjadi hampir disemua kabupaten, terutama dengan perkebunan sawit.
"Kondisi ini tentu harus segera di sikapi oleh pemerintah Aceh agar tidak menjadi permasalahan yang lebih besar lagi,"sebutnya.
Peluang penyelesaian konflik melalui skema Reforma Agraria, sambungnya, harus dilakukan secara serius oleh Pemerintah Aceh dengan melibatkan semua pihak mulai dari Eksekutif, Legislatif, Akademisi, Swasta dan Masyarakat Sipil agar semangat Reforma Agraria dapat direasiliasikan secara utuh, tepat sasaran dan berkeadilan.
Disisi lain, pihaknya berharap pelaksanaan Perpres No 86 tahun 2018 hendaknya harus disinergikan dengan Intruksi Presiden (Inpres) No.8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit.
"sebab saat ini ada banyak perusahaan sawit yang sedang dalam proses pengurusan perpanjangan izin"jelasnya.
Mustiqal melanjutkan, Sekda Aceh tanggal 24 Januari 2019 lalu menerbitkan surat tentang Tindaklanjut Sektor Pertambangan Mineral Logam dan Batubara Serta Perkebunan Sawit. Hendaknya, sambung Mustiqal, surat tersebut harus diterjemahkan sebagai respon terhadap Inpres No 8/2018 tersebut.
"sehingga semangat yang dibangun bukan pada penerbitan izin baru, tetapi menjadikan lahan bekas perusahaan yang telah habis izin ataupun terlantar sebagai objek reforma agraria,"jelas Mustiqal.
Pihaknya menambahkan, implementasi reforma agraria di Aceh juga harus menjadikan Kesepakatan Damai antara Pemerintah RI dan GAM (MoU Helsinski) sebagai salah satu rujukan dalam membuat kebijakan.
"sehingga redistribusi lahan tidak hanya menyasar masyarakat miskin/petani gurem tetapi juga masyarakat terdampak konflik di Aceh"papar Mustiqal.
Pada kesempatan tersebut Masyarakat SIpil Aceh mengharapkan semangat Reforma Agraria tidak diimplementasikan dengan pelepasan kawasan hutan untuk dibagikan kepada masyarakat, tetapi lebih pada semangat mengembalikan lahan-lahan yang dikuasai korporasi yang telah habis izin ataupun terlantar diberikan kepada masyarakat miskin, petani yang tidak memiliki lahan serta masyarakat terdampak konflik Aceh.
Kondisi diatas mengemuka dalam FGD Reforma Agraria yang dilaksanakan hari Jumat (8/3) lalu di kantor WALHI Aceh. Masyarakat Sipil Aceh yang terdiri dari WALHI Aceh, LBH Banda Aceh, JKMA, Bytra dan Gerak serta Taufik Abda menyepakati untuk mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil langkah konkrit dalam mengimplementasikan agenda Reforma Agraria di Aceh.
Masyarakat Sipil Aceh juga mendesak Pemerintah Aceh/Plt Gubernur untuk segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
1. Membentuk Sekretariat Bersama Reforma Agraria Aceh yang terdiri dari unsur : Pemerintah, Akademisi, Masyarakat Sipil dan Swasta guna percepatan/akselerasi implementasi Reforma Agraria di Aceh
2. Segera menyelesaikan konflik agraria terutama konflik antara masyarakat dengan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) maupun IUPHHK-HTI, terutama HGU/HTI yang telah habis izin, akan habis izin maupun terlantar
3. Menyurati Bupati/Walikota untuk mengajukan usulan wilayah yang akan dijadikan objek Reforma Agraria terutama diwilayah HGU/HTI yang telah habis izin, akan habis izin maupun terlantar
4. Melanjutkan Moratorium Sawit dan menjadikan HGU/HTI yang telah habis izin, akan habis izin maupun terlantar sebagai areal yang dicadangkan sebagai objek Reforma Agraria di Aceh.