kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Membongkar Tujuan Penyelundupan Rohingya ke Aceh

Membongkar Tujuan Penyelundupan Rohingya ke Aceh

Minggu, 27 November 2022 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nora

Pengungsi Rohingya Terdampar di Pesisir Pantai Aceh [Foto: Antara/Nova Wahyudi]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Dosen Ilmu Politik FISIP USK, Aryos Nivada mengatakan aktivitas penyelundupan manusia dilakukan oleh Kelompok penyelundupan manusia atau disebut people smuggling. People smuggling bermain dalam aktivitas penyelundupan pengungsi Rohingya. 

“Hasil penelusuran tracking media, aktivitas ini dilakukan oleh imigran-imigran illegal asing yang menjadikan Indonesia, khususnya Aceh, sebagai wilayah transit,” kata Aryos kepada Dialeksis.com, Minggu (27/11/2022). 

Para aktor diantaranya, fasilitator keberangkatan imigran yaitu pihak yang menfasilitasi kepergian mereka dari negara asal. Kedua, fasilitator penjemputan imigran. Ketiga, oknum kelembagaan tertentu yang berupaya menggiring tanggung jawab pemerintah menyelesaikan masalah penyelundupan Rohingya secara ilegal di Aceh. 

Pandangan lain, menurut Direktur Utama Lingkar Sindikasi itu, pihak The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migrant (IOM) perlu mengambil peran yang lebih aktif dan strategis untuk penanganan pengungsi yang datang dari luar negeri ke Aceh, sehingga keberadaan pengungsi tidak menimbulkan masalah sosial baru di Aceh.

“Keberadaan pengungsi di Aceh tentu menjadi perhatian serius pemerintah Provinsi Aceh terutama karena terbatasnya kewenangan dan ketersediaan anggaran membantu kebutuhan para pengungsi selama berada di wilayah Aceh,” jelasnya. 

Lebih lanjut, kata dia, secara aturan pemerintah daerah tidak dibolehkan menggunakan anggaran untuk pengungsi asing.

“Belajar dari beberapa kasus sebelumnya, masyarakat Aceh mulai merasa ada pihak-pihak yang memanfaatkan isu kemanusiaan, sehingga Aceh dijadikan pintu masuk untuk transit sementara pengungsi rohingya sebelum diseludupkan ke negara lain,” ungkap Aryos. 

Selain itu, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif (JSI) itu mengungkapkan, alasan para pengungsi Rohingya kabur dari kamp di Aceh disebabkan oleh keinginan mereka yang tidak ingin menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan akhir.  

Indonesia bukanlah negara tujuan. Namun Indonesia menjadi tempat transit karena tidak bisa mendarat di Malaysia atau tidak bisa sampai ke Malaysia. 

“Pengungsi rohingya memiliki karakter tidak bisa diatur, sehingga sering terjadi komunikasi yang tidak harmonis dengan warga setempat,” ungkapnya lagi. 

Berdasarkan sumber CNBC Indonesia, data penduduk Rohingya yang terdampar di Aceh sangat banyak dan mereka berdatangan secara bertahap. 

• 24 Juni 2020: 99 orang terdampar di Aceh Utara

• 7 September 2020: 297 orang mendarat di Aceh

• 3 Juni 2021: 81 orang dalam perahu kandas di Pulau Idaman Aceh, dipindahkan ke Medan

• 31 Desember 2021: 120 orang tiba di Aceh Utara

• 13 Februari 2022: Dari 105 pengungsi di BLK

Lhokseumawe, kini tersisa 41 orang

• 15 November 2022 : 110 orang terdampar di pesisir Aceh Utara

• 16 November 2022 : 119 orang terdampar di pesisir Aceh Utara

Menurut Alumni Lemhannas itu, Pemerintah Indonesia harus berkomunikasi dengan UNHCR dan IOM untuk membicarakan perihal operasional serta kebutuhan para pengungsi yang menetap sementara di Aceh, dikarenakan Pemerintah Provinsi Aceh memiliki keterbatasan dana dan tidak ada alokasi khusus penanganan pengungsi Rohingya. 

Dengan catatan tidak disengaja untuk diarahkan menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia. 

Kemudian, lanjutnya, Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dalam penanganan penyelundupan Rohingya yang semakin tinggi berdatangan ke Aceh, jangan mudah terjebak dengan rasa kemanusiaan sehingga dijadikan modus pemanfaatan oleh pihak tertentu untuk turut serta mengurusi pengungsi rohingya.

Selain itu, Pemerintah Aceh bersama negara Bangladesh secara bilateral perlu bekerja sama melalui mekanisme Interpol untuk membongkar oknum atau aktor penyelundup pengungsi rohingya ke Aceh. Sekaligus kerjasama operasi penanganan dan penindakannya.

Tak hanya itu, kata dia, dalam penanganan darurat, UNHCR dan IOM perlu menguatkan peran lembaga Swadaya masyarakat di Aceh agar memiliki dan membantu para pengungsi rohingya di Aceh. (Nor)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda