kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Mengapa Parpol Islam Belum Pernah Masuk Top Tiga Besar?

Mengapa Parpol Islam Belum Pernah Masuk Top Tiga Besar?

Jum`at, 29 Oktober 2021 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : akhyar

Direktur The Aceh Institute, Dr Fajran Zain. [Foto: Ist]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Selama tiga periode terakhir Pemilihan Umum (Pemilu) di pentas nasional, Partai Politik (Parpol) dengan latar belakang Islam belum pernah sekalipun masuk ke top tiga besar.

Pada Pemilu legislatif terakhir (2019), partai top tiga besar masih didominasi oleh partai sekuler, yakni dari PDI-P, Gerindra dan Golkar.

Merespons hal tersebut, Direktur The Aceh Institute, Dr Fajran Zain mengatakan, partai Islam dari dulu hingga sekarang memang sangat kesulitan dalam mendulang suara mayoritas.

Hal ini, kata dia, disebabkan karena praktik partai Islam masih segmentif dalam menyasar pemilih.

"Partai Islam hari ini belum mampu merepresentasikan kolektivitas keislaman di Indonesia," kata Dr Fajran kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Kamis (28/10/2021).

Ia mencontohkan semisal pemilih PKB adalah orang NU, pemilih PAN dari orang Muhammadiyah, pemilih PKS dari orang-orang yang membawa semangat timur tengah, dan PPP yang memiliki kelompok langgamnya sendiri sebagai pemilih.

"Jadi, memang partai Islam itu masih segmentif dan belum bisa bersatu," ungkapnya.

Adapun masalah lain mengapa partai Islam belum mampu masuk top tiga besar, jelas Fajran, karena kesulitan pemilih dalam mendefinisikan makna Islam yang ada di setiap partai yang berbeda.

Semisal, kata dia, PBB yang masih mengambil semangat masyumi, sehingga hanya semangat masyumi lah yang dibangun.

Segmentif itulah, kata Fajran, yang kadang membuat partai Islam tidak melakukan reaching (penjangkauan) di luar dari segmen yang disasar.

Dibandingkan dengan partai sekuler lainnya, ungkap dia, partai Islam sebenarnya juga sama kuatnya. Namun persoalannya terletak pada tak ada ikon atau simbol pemersatu para partai Islam di Indonesia.

Di sisi lain, lanjut Fajran, praktik parpol di Indonesia saat ini juga sudah pragmatis dan melupakan ideologis yang dibawa partai. Sekarang ini, kata dia, partai sudah dianggap sebagai kendaraan untuk mencari kekuasaan politik semata.

Kemudian, lanjut dia, konsistensi para kader untuk tetap beristiqamah di sebuah partai juga sudah tak lagi dilakukan. Bahkan orang yang masuk partai sudah bukan lagi memperjuangkan visi atau nilai dari satu aliran partai yang dianut.

"Bagi dia, partai itu bukan sesuatu yang ideologis. Bagi dia, partai itu hanya sebagai alat untuk mencari kekuasaan dan uang," tutur Fajran.

Khususan bagi partai Islam, Fajran mengatakan bahwa tantangan yang harus dilewati partai Islam yakni menemukan sebuah role model ideologi yang dibangun oleh partai, konsistensi para kader, dan menemukan ciri khas keislaman yang diperjuangkan oleh Parpol tersebut.

Sehingga, kata dia, para pemilih partai Islam nantinya bisa terpatri dengan nilai ideologis yang dibawa atau persamaan penilaian para pemilih terhadap partai.

"Partai harus menampakkan cirinya sebagai sebuah partai dengan ideologi tertentu. Jangan berpindah-pindah haluan. Temukan karakter, sehingga partai itu bisa membranding dirinya dengan karakter tersebut," kata dia.

Berhubung perhelatan Pemilu serentak akan digelar di 2024, Fajran menilai bahwa Partai Islam masih akan tetap kesulitan untuk masuk top tiga besar.

Sebagai catatan supaya ke depan Partai Islam ini bisa masuk ke top tiga besar, Fajran mengatakan, ada dua hal yang bisa dilakukan.

Pertama, mencari sosok sentral yang bisa mempersatukan kepentingan semua partai Islam. Kedua, persamaan persepsi dalam merespons satu isu yang sama. [akh]

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda