Menikahkan Anak Akibat Hamil Duluan Bukanlah Solusi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Direktur Eksekutif PKBI Aceh, Eva Khovivah. [Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kawin muda atau nikah di bawah umur bak menggenggam racun di tangan. Bila sang penggenggam ini daya tahan tubuhnya kuat, maka dia akan bertahan dan tak teracuni. Namun bila daya tahan tubuhnya lemah, mahligai rumah tangga yang dibangunnya akan hancur berantakan.
Kesehatan reproduksi anak perempuan juga harus dipikirkan ke depan. Tak hanya dipikirkan tapi juga harus dipersiapkan sematang mungkin. Karena, ketika seorang anak perempuan menikah di usia muda atau tidak sesuai dengan capaian regulasi Undang-Undang Perkawinan, yaitu 19 tahun ke atas, maka akan menimbulkan kerentanan terhadap kesehatan si perempuan.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh yang juga konsen pada kesehatan reproduksi wanita menyayangkan fenomena-fenomena pernikahan dini yang terjadi. Karena pernikahan dini akan sangat membahayakan kesehatan si perempuan nantinya.
“Organ rahim anak-anak masih belum terlalu kuat. Artinya ketika si anak ini hamil akan sangat berbahaya bagi kesehatan reproduksinya. Apalagi secara mental dan psikologis si anak masih belum stabil. Masih banyak labilnya. Oleh karena itu, menurut kami pernikahan usia dini bagi anak-anak sangatlah berbahaya,” ujar Direktur PKBI Aceh, Eva Khovivah saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (22/3/2021).
Eva melanjutkan, kondisi perempuan yang menikah muda juga bakal memprihatinkan. Karena, pada kebiasaan si perempuan akan diminta ber-KB oleh suaminya setelah ia melahirkan anak. Belum lagi dampak-dampak KB yang ditimbulkan pada setiap tubuh yang berbeda-beda.
“Akan menjadi sebuah dilema bagi si perempuan yang harus memilih KB suntik atau minum pil. Bayangkan saja dia, hormonnya saja masih belum stabil tapi harus ber-KB karena anjuran suaminya. Belum lagi nanti dampak-dampak KB bagi si perempuan itu,” jelas Eva.
Sementara itu, Eva menjelaskan, kematangan biologis bagi seorang anak perempuan berada di umur antara 21 hingga 23 tahun. Di usia tersebut, kata Eva, sistem reproduksi dan daya tahan tubuh perempuan sudah matang secara biologis. Bahkan di umur demikian, seorang anak perempuan sudah memahami banyak hal.
“Idealnya menikah bagi perempuan yakni di usia-usia tersebut. Pertimbangannya karena tubuh si anak sudah matang secara biologis. Kemudian secara emosi juga sudah siap. Karena setelah menikah, perempuan akan menghadapi yang namanya hamil dan menyusui. Bahkan secara hormon pun sudah siap jika harus menggunakan alat-alat kontrasepsi,” jelas Eva.
Selain itu, Eva juga menyinggung dengan fenomena-fenomena pernikahan dini yang terjadi di gampong-gampong. Karena ketika ada seorang anak perempuan yang kedapatan hamil duluan akibat pergaulan bebas atau yang menjadi korban pemerkosaan, seringnya solusi yang dihadirkan pihak keluarga dan masyarakat sekitar ialah dengan menikahkan si korban tersebut. Walaupun, pada saat itu umur si anak masih belum cukup ideal untuk menikah.
Padahal, nilai Eva, menikahkan korban-korban ini bukanlah sebuah solusi. Karena perlu pertimbangan-pertimbangan ke depan yang harus dipikirkan terhadap dampak sosial yang akan dialami oleh si korban.
“Dampaknya nanti, si anak ini akan jadi putus sekolah. Artinya, setelah dinikahkan bukan berarti sudah selesai masalah. Malahan akan timbul lebih banyak lagi masalah baru ke depan,” tutur Eva.
Selain terputus sekolah, Eva mengatakan, pernikahan anak di usia dini juga rentan menimbulkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Apalagi, jika seandainya si suami masih sama-sama berusia muda dan masih belum punya pekerjaan tetap.
“Coba dibayangkan, akan bagaimana stresnya dia coba. Sudah nggak punya pekerjaan dan harus ngurus anak berdua. Malahan si istri lebih rentan lagi mengalami KDRT,” jelas Eva.
Direktur PKBI Aceh itu mengaku sangat mendambakan melihat budaya masyarakat yang tidak menghakimi anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan atau pelecehan seksual. Eva berharap agar para korban ini mendapat dukungan moril dan sistem yang mendukung dari pihak keluarga dan masyarakat.
“Cuman kan budaya masyarakat kita ini mikirnya, ‘yaudah yuk mari kita nikahin saja, sesudah ini selesai deh aib keluarga, bakal ke tutup nih aibnya.’ Padahal harus kita pikirkan lebih jauh lagi akan dampak-dampak lain yang akan ditimbulkan nantinya,” kata Eva.
Eva juga berharap agar praktik-praktik pernikahan anak di usia dini ini bisa berhenti di tengah masyarakat. Ia berharap agar masyarakat bisa menyikapi himbauan cegah pernikahan dini bagi anak di bawah umur ini dengan perwujudan nyata dan saling merangkul bersama. Mulai dari tingkatan diri sendiri, keluarga, lingkungan masyarakat hingga kepada pemerintah.
“Fenomena pernikahan dini ini harus menjadi refleksi bagi kita. Diharapkan ke depan komunitas masyarakat membantu si korban dengan memberikan dukungan bersama. Kita sebagai masyarakat harus bersama-sama menghentikan praktik-praktik pernikahan dini ini,” kata Eva.
Sebelum Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) melanda Indonesia dan Aceh, Eva mengabarkan pihaknya rutin memberikan edukasi kepada anak-anak remaja di sekolah.
Di sekolah, kata Eva, PKBI Aceh gemar mengedukasi dan memberi wawasan kepada para siswa terhadap bahaya menikah muda.
PKBI Aceh juga mengajari siswa untuk bagaimana menjaga dirinya dan memberi pemahaman untuk mencegah KDRT dengan penyampaian informasi yang baik dan benar. Apalagi, sambung dia, kemudahan akses digital telah memberi dampak negatif bagi kebanyakan anak.
Kendati demikian, Eva mengatakan, sebelum Covid-19, pihak PKBI Aceh bersama dengan Dinas Pendidikan Aceh saling merangkul tangan dalam memberi pemahaman kepada anak terhadap pentingnya pencegahan pernikahan usia dini bagi para siswa di sekolah.