Menimbang Ulang Peran dan Fungsi Lembaga Khusus di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Aceh - Sebagai provinsi istimewa, Provinsi Aceh tentu memiliki kekhususan dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Salah satu kekhususan yang dimiliki Provinsi Aceh adalah struktur pemerintahannya yang merepresentasikan nilai syariat Islam dan adat Aceh.
Hal ini merupakan bentuk aplikasi UU Pemerintahan Aceh No 11 Tahun 2006 yang menjadi amanah dari MoU Helsinki 2005. Kebijakan ini mengamanahkan otonomi khusus yang membuat struktur Pemerintahan Aceh terlihat lebih kompleks dibandingkan struktur pemerintah di wilayah lain.
Penafsiran kekhususan Aceh dapat dikategori dalam tiga komponen utama yaitu keislaman, kebudayaan dengan adat Aceh dan pendidikan khas Aceh.
Untuk mengelola fungsi komponen keislaman maka dibentuk lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Dinas Syariat Islam dan Baitul Mal. Sistem tata kelola pada fungsi kebudayaan Aceh dilaksanakan oleh Lembaga Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh.
Terakhir, struktur pemerintahan yang diharapkan bertanggungjawab mengatur eksekusi fungsi pendidikan khas Aceh adalah Dinas Pendidikan Dayah dan Majelis Pendidikan Aceh. Ditambah lagi dengan beberapa lembaga khusus seperti Badan Reintegrasi Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.
Menurut Dosen Administrasi Publik, Universitas Hasanuddin, Andi Ahmad Yani mengatakan, keberadaan lembaga-lembaga spesial dalam struktur pemerintahan Aceh ini, tentu merupakan bentuk penafsiran spirit masyarakat Aceh yang sudah terbangun sebagai sebuah peradaban bangsa sejak puluhan abad silam.
“Lembaga-lembaga dalam struktur pemerintahan peradaban Aceh tersebut, bekerja dalam sistem yang tersendiri yang tentu berbeda dengan sistem dan logika tata kelola publik dengan yang ada sekarang,” jelasnya kepada Dialeksis.com, Minggu (7/8/2022).
Peneliti Center for Peace, Conflict and Democracy (CPCD) Unhas itu menjelaskan, amalgamasi sistem pemerintahan modern dan klasik di Aceh saat ini melahirkan sebuah tantangan tersendiri untuk memastikan pencapaian kesejahteraan masyarakat Aceh ke depan.
Keberadaan lembaga-lembaga khusus yang merencanakan, menerapkan dan mengevaluasi sistem, strategi penerapan syariat Islam seperti Dinas Syariat Islam (DSI) dan Majelis Permusyawararan Ulama (MPU). Kata dia, tentu sangat strategis dalam memelihara nilai dan marwah masyarakat Aceh yang Islami yang berkelanjutan.
Demikian halnya dengan Majelis Adat Aceh (MAA) yang memiliki struktur sampai pada level kabupaten/kota, juga bekerja untuk memastikan bekerjanya kembali sistem dan nilai adat Aceh dalam pranata sosial dan kesadaran kolektif masyarakat setelah tercerabut dan teralienasi karena intervensi rezim yang telah mendesktruksinya secara paksa.
Namun demikian, lanjutnya, penerapan hibriditas sistem melahirkan sebuah konsekuensi terbentuknya struktur organisasi yang kaya struktur tetapi miskin fungsi.
“Amalgamasi struktur pemerintah yang sekarang membuat sistem pemerintahan Aceh harus mempertahankan keberadaan sebuah struktur atau lembaga dimana fungsinya sebenarnya bisa dikerjakan oleh lembaga lain yang sudah ada,” jelasnya lagi.
Kondisi ini, katanya, melahirkan sebuah konskuensi kompleksitas birokrasi dan menjadi lambat serta cenderung tidak efektif dan efisien dalam pengelolaan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia.
“Kekhawatiran ini dapat dilihat pada besarnya alokasi anggaran gaji pegawai kabupaten/kota se Provinsi Aceh yang membutuhkan 35-38 persen dari total belanja daerah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan ketika pendapatan daerah cenderung mengalami penurunan.
Untuk mengukur sejauh mana kontribusi lembaga-lembaga khusus Aceh terhadap peningkatan kesejahteraan Aceh secara umum. maka tentu harus melihat pada sektor-sektor layanan yang berpengaruh langsung, yaitu layanan pendidikan.
BPS Provinsi Aceh melaporkan dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Aceh 2021 bahwa persentase warga Aceh (usia 15 tahun ke atas) yang memiliki kemampuan membaca dan menulis huruf Arab masih pada angka 41,27 persen.
Angka persentase di bawah 50 persen ini tidak bisa dibaca sederhana, karena perlu dipertimbangkan kemungkinan tidak semua warga Aceh beragama Islam dan harus bisa membaca huruf Arab.
Meskipun demikian, persentase warga warga Aceh yang melek huruf Latin masih cukup tinggi yaitu 97,73 persen.
Namun perlu dipahami, angka ini tentu masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, misalnya Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang angka melek hurufnya sebesar 99 persen.
“Hal ini tentu menjadi ironis jika kita paham dan tahu bahwa Pemerintah Aceh memiliki 3 lembaga yang mengurus pendidikan di setiap level pemerintahan,” imbuhnya.
Menurutnya, bukan hal mudah untuk menjalankan sebuah struktur birokrasi yang hybrid seperti Pemerintahan Aceh sekarang. Amalgamasi sistem pemerintah bisa menjadi peluang untuk bekerja lebih strategis dan inovatif atau justru menjadi batu sandungan dalam bekerja efektif dan efisien.
Untuk itu, kata dia, diperlukan kesepahaman visi bersama dengan menurunkan ego sektoral dan kelembagaan untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan agenda prioritas pemerintahan Aceh serta meningkatkan keberdayaan dan kesejahteraan warga Aceh secara keseluruhan.