Menjawab Kekhawatiran Masyarakat Soal Tambang, Ini Penjelasan Pakar Amdal
Font: Ukuran: - +
Reporter : Sara Masroni
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pemerintah Aceh sedang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu sisi, menolak aspirasi masyarakat soal tambang akan dicap sebagai pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Di sisi lain, menolak tambang sama halnya menutup salah satu keran perekonomian di daerah.
Menanggapi hal itu, Pakar Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang juga akademisi Teknik Lingkungan UIN Ar-Raniry menjelaskan penyebab berbagai penolakan masyarakat ini terjadi.
"Buntut penolakan masyarakat terhadap penambangan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dari pemrakarsa (penanggung jawab) tambang dan pemerintah kepada masyarakat terhadap dampak positif dari aktivitas penambangan itu sendiri," kata Yeggi Darnas, Pakar Amdal sekaligus Sekretaris Prodi Teknik Lingkungan UIN Ar-Raniry saat dihubungi, Senin (7/10/2019).
Ia berujar, setiap aktivitas perekonomian pasti menemukan dampak positif dan negatif. Namun yang perlu diperhatikan bagaimana memperkecil dampak negatif itu dan memperbesar dampak positif sehingga manfaatnya bisa lebih besar dirasakan masyarakat dan daerah.
"Di tahap Studi Kelayakan, masyarakat wajib mendapat sosialisasi tentang manfaat apa yang mereka dapatkan dari pemrakarsa tambang. Selanjutnya, tahap Amdal masyarakat dilibatkan lagi. Begitu seterusnya, sampai masyarakat benar-benar paham dampak positif dan manfaat yang didapat, baik untuk mereka secara pribadi maupun terhadap perekonomian daerah," tambah alumnus Magister Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Perlu diketahui, lanjut Yeggi, pada Studi Kelayakan di sana semua dibahas sampai apakah aktivitas penambangan tersebut berdampak bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan masyarakat sekitar atau tidak.
"Kemudian di tahap Amdal lebih ketat lagi. Di sana pemrakarsa wajib menyiapkan dokumen tentang apa yang harus dilakukan menghadapi dampak lingkungan sejak sebelum hingga proses penambangan berakhir," jelasnya.
Selanjutnya, saat ditanya berapa persen minimal tenaga kerja pribumi yang dapat diserap, Yeggi berujar soal ini pihak pemrakarsa semestinya wajib menyerap tenaga setempat sebanyak-banyak, sesuai kapasitas dan kemampuan masyarakat di sekitar lokasi tambang.
"Untuk tamatan SD/SMP bisa diperkerjakan sebagai buruh kasar. Selanjutnya, tamatan SMA/SMK bisa ditempatkan sebagai mandor. Kemudian lulusan D3 dan S1 bisa ditempatkan di posisi operator sambil dibekali juga oleh perusahaan. Intinya serap pekerja lokal, jangan selalu pakai pekerja impor," jelasnya.
"Sosialisasi dan komunikasi antara pemrakarsa tambang dengan masyarakat harus baik. Namun pengalaman menunjukkan, di sinilah letak permasalahan itu terjadi, hingga mendapat banyak penolakan dari masyarakat," tambahnya.
Pakar Amdal UIN Ar-Raniry ini berharap, pemerintah terutama dinas terkait dan stakeholder harus lebih gencar lagi mensosialisasikan dampak positif tambang ke masyarakat terutama daerah-daerah pedalaman.
"Selain itu perlu juga ditingkat komitmen antara pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup dan pemrakarsa tambang. Kalau ada penambang yang berbuat salah, ya langsung dihukum secara tegas saja," kata Yeggi.
Yeggi menambahkan, pemberdayaan kepada masyarakat melalui Dinas Ketenagakerjaan perlu digencarkan lagi agar masyarakat di daerah banyak terserap oleh perusahaan-perusahan tambang.
"Aceh perlu investasi, sebab instrumen itu dapat menghidupkan perekonomian rakyat dan daerah. Dan untuk saat ini malah sangat dibutuhkan," tandasnya. (sm)