kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Mereka Ingin Hak Perempuan Dipenuhi

Mereka Ingin Hak Perempuan Dipenuhi

Minggu, 08 Maret 2020 14:05 WIB

Font: Ukuran: - +

Seorang perempuan yang tergabung dalam Aceh Women March memegang simbol aspirasi terhadap perempuan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Sabtu (8/3/2020). [Foto: Indra Wijaya/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh – Tak banyak yang ia ucapkan saat menyampaikan aspirasi pada peringatan Hari Perempuan Internasional yang tepat jatuh pada Sabtu (8/3/2020), di Lapangan Blang Padang. Ia hanya ingin pada momen ini merupakan momen yang tepat dalam ia menyampaikan aspirasinya.

“Kita ingin hak perempuan terutama di Aceh dipenuhi,” ucap Novia Liza selaku penanggung jawab aksi tersebut.

Beragam dari lembaga solidaritas perempuan hadir pada pada aksi tersebut. Tak hanya perempuan saja, namun para lelakipun ikut andil dalam menyuarakan hak-hak perempuan.

Aksi tersebut dilaksanakan disetiap daerah di Indonesia dan dunia. Mereka satu suara menyuarakan agar hak-hak terhadap perempuan dipenuhi. Dan juga, mereka ingin tidak adanya diskriminasi terhadap perempuan di lingkungan kerja ataupun di tempat lainnya. 

Novia mengatakan, setiap tahunnya perempuan yang tergabung di Aceh Women’s March 2020 selalu turun kejalan melakukan long march dengan satu tujuan yakni pemenuhan hak terhadap mereka.

“Setiap tahunnya kita turun kejalan dan menyuarakan isu-isu terkait perempuan. Salah satunya pemenuhan hak tadi,” katanya.

Ada lima yang mereka suarakan yaitu; hak untuk mendapatkan pendidikan, hak dalam bekerja, hak kesehatan, hak perempuan dalam perkawinan dan rumah tangga, dan hak perempuan dalam ruang publik dan politik.

“Ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Pada 2016 ada 1700 kasus, 2017 ada 1500 kemudian pada 2018 ada 1300,” ungkapnya.

Meskipun ada penurun angka kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya, ia beranggapan angka tersebut masih cukup tinggi. 

Selain masalah kekerasan terhadap perempuan, ia menyebutnya di Aceh juga terjadai kasus pernikahan dini. Meskipun saat ini pemerintah sudah mengangkat batas menikah seorang anak harus berumur 19 tahun, namun ketika orang tua mengizinkan anaknya untuk nikah dini berbeda cerita pula.

“Kalau orang tua sudah kasih izin menikah meskipun belum mencukupi batas umur maksimal jadi gimana coba. Tetap aja pernikahan mereka tidak terdata karena belum batas umur maksimal,” sebutnya.

Hal tersebutpun memiliki dampak terhadap anak. Mereka tidak menerima hak mereka sebagai anak. Seperti mendapatkan Akte Kelahiran dan tidak bisa mendapatkan admisnistrasi negara.

Selain itu ia melihat aturan yang dikeluarkan pemerintah saat ini sangat diskriminasi gender.

“Saat ini pemerintah tengah menggodok aturan UU Ketahanan Keluarga. UU inikan mendorong perempuan untuk menjadi ujung tombak ketahanan keluarga,” katanya.

Ia beranggapan UU tersebut sangat membatasi ruang gerak perempuan. Karena menurutnya pada UU tersebut perempuan harus selalu berada di rumah. Sementara dalam hak dasar perempuan, ia mengatakan perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan hak mendapatkan pekerjaan.

“Seharusnya kan, rumah tangga itukan jadi milik bersama, kesepakan bersama dan tanggung jawab bersama. Bukan dibebankan kepada perempuan saja,” ungkapnya.

Hal serupa juga dikatakan Direktur Sentral Pergerakan Perempuan Aceh (SPPA) Rahmatun Phounna. Ia melihat di Aceh sendiri tidak separah di daerah lain pada kasus diskrimanasi terhadap perempuan. Namun kenakalan remaja yang masih sangat banyak di Aceh.

“Mungkin karena faktor tidak adanya masukan ilmu agama. Itu bisa menjadi salah satu faktor pola pikir seorang remaja melenceng dari yang seharusnya,” ungkap Phounna.

Dalam kasus pelecehan seksual, ia melihat pelecehan tak hanya dilakukan dalam bentuk fisik saja. Namun ada pelecehan verbal dan non verbal.

“Pelecehan verbal dan non verbal ini yang banyak dirasakan olah perempuan di Aceh. Sayapun ikut merasakannya,” katanya.

Ia juga mengharapkan kepada para perempuan aceh agar lebih berani melawan. Ia juga menginginkan dari pemerintah adanya regulasi. Karena menurtnya, dengan adanya regulasi tersebut, ketika seorang perempuan terkena pelecehan, mereka dapat menuntut di pengadilan nantinya.

“Regulasi itu sangat penting untuk perempuan. Kerena ketika seorang perempuan terkena pelecehan seksual ia ada yang mendampingi saat di pengadilan,” pungkasnya (IDW)

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda