DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG) menuai sorotan tajam dari sejumlah pesertanya.
Para mahasiswa mengeluhkan berbagai kejanggalan dalam pelaksanaan program, mulai dari minimnya kegiatan peningkatan kapasitas, koordinasi yang buruk, hingga tidak transparannya pemanfaatan dana beasiswa.
Sejak awal pelaksanaan, program PPG di UBBG dinilai jauh dari kata ideal. Mahasiswa menyebut kegiatan peningkatan kapasitas seperti seminar dan pelatihan hampir tidak pernah dilakukan secara luring.
Hal ini kontras dengan kampus lain di Banda Aceh yang secara rutin menggelar pelatihan dan seminar untuk calon guru.
“Pada Desember lalu memang ada satu seminar, tapi anehnya ada dua spanduk dengan judul berbeda: satu bertuliskan Evaluasi PPG 2023, satu lagi Pembekalan PTK PPG 2024, padahal acaranya hanya satu yaitu workshop PTK,” ungkap MR, salah satu mahasiswa PPG UBBG kepada Dialeksis.com, Rabu (11/6/2025).
Koordinasi kegiatan juga disebut sangat buruk. Informasi penting seperti jadwal orientasi mahasiswa baru (ospek) bahkan baru diberikan sehari sebelum kegiatan berlangsung. “Saya dari luar kota. Mendapat informasi ospek hanya beberapa jam sebelumnya benar-benar menyulitkan,” kata DY, mahasiswa lainnya.
Masalah berlanjut pada aspek administratif. Nomor Induk Mahasiswa (NIM) baru diberikan sebulan setelah perkuliahan dimulai, itupun setelah mahasiswa berkali-kali menanyakannya.
Jadwal perkuliahan, Ujian tengah Semester (UTS), dan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) pun kerap tidak tersedia hingga mahasiswa sendiri yang meminta secara aktif.
“Tidak ada informasi yang diberikan tanpa ditanya terlebih dahulu, kecuali soal promosi kampus. Hampir semua info terkiat pelaksaan PPG harus kami tanyakan, itu pun diberi kabar selalu mepet hari H,” kata NA, Rabu (11/6/2025).
Sementara itu, dana beasiswa senilai lebih kurang Rp17 juta per mahasiswa juga menuai tanda tanya. Mahasiswa menyebut tidak pernah merasakan manfaat dana tersebut secara langsung.
“Badge nama saja baru kami terima di semester dua, setelah ramai dipertanyakan. Itupun kualitasnya sangat di bawah standar, jauh lebih baik kalau buat sendiri,” ujar UZ.
Tidak hanya itu, seluruh keperluan untuk proyek dan kegiatan kampus ditanggung mahasiswa, mulai dari konsumsi, spanduk, hingga peralatan kerja.
“Kampus lain setidaknya menyediakan makan siang saat seminar atau ospek. Di sini, waktu ospek kami cuma dapat kue kotak. Aneh saja, mengingat jumlah beasiswa yang kami terima per orang” keluh DF.
Di sisi akademik, intensitas pembelajaran juga sangat rendah. Mahasiswa menyebut dosen sering membatalkan kelas atau mengganti jadwal secara sepihak, dengan alasan kesibukan akreditasi kampus.
“Ada dosen yang tidak pernah absen, tapi sekalinya tidak hadir, absen untuk beberapa pertemuan sekaligus,” kata RN.
Di semester kedua, saat kegiatan Gelar Karya dan proyek kepemimpinan, mahasiswa merasa dibiarkan tanpa arahan.
“Tidak ada informasi tentang di mana mencari perlengkapan, bahkan rangkaian acaranya saja kami tidak tahu. Semua sepenuhnya kami urus sendiri, tidak ada satu pun dosen yang terlibat,” ujar RN.
Ketika praktik lapangan (PPL) dimulai, sejumlah mahasiswa mengaku tidak disambut baik oleh sekolah mitra tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
"Kepala sekolah bahkan berkata, ‘Untuk apa sebenarnya mahasiswa PPG ini di sini?’ Itu sangat mengecilkan hati,” ungkap DF.
Menambah ketidaknyamanan, pada sesi wawancara bersama tim Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mahasiswa yang ditunjuk sebagai representasi tidak diberikan briefing.
“Saya diberi tahu H-1, tanpa arahan apa pun. Selama wawancara kami diminta hanya menyampaikan yang bagus-bagus saja, dan dosen UBBG ikut menyaksikan. Rasanya seperti diinterogasi,” ujar DY.
Ratusan tugas mahasiswa yang diunggah ke LMS (Learning Management System) seharusnya mudah dimonitor oleh dosen dan operator kampus. Sistem digital tersebut secara otomatis menampilkan data nilai yang kosong atau tugas yang belum diperiksa.
Namun, faktanya, masih terdapat dosen yang tidak memberikan nilai UAS kepada mahasiswa padahal waktu penilaian masih tersedia.
Salah satu dosen bahkan sempat mengingatkan mahasiswa bahwa terdapat tugas di LMS yang belum terisi, mengingat ratusan penugasan harus diperiksa satu per satu.
Namun, tidak ada sistem peringatan berkala yang diberikan kampus secara resmi. Hal ini berbeda dengan kampus lain yang secara aktif memberikan pengingat progres akademik mahasiswa.
Akibatnya, tiga mahasiswa PPG UBBG dilaporkan terancam tidak bisa mengikuti Uji Kompetensi Peserta Pendidikan Profesi Guru (UKPPG) karena nilai UAS mereka pada salah satu mata kuliah tidak keluar, meskipun mereka telah mengunggah tugas sebelum batas waktu yang ditentukan.
Sementara itu, di USK, dana beasiswa yang sama besarannya digunakan secara maksimal untuk peningkatan kompetensi calon guru. Mahasiswa PPG USK mengikuti berbagai pelatihan seperti:
• Pengembangan Kompetensi Guru oleh Dr. Yusran, S.Pd., M.Pd.
• Penerapan Lesson Study dalam Pembelajaran oleh Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si.
• Interactive Learning untuk Mahasiswa PPG Gelombang 2 Tahun 2024 oleh Dr. Murti Ayu Wijayanti, M.Pd.
• Integrasi Pendekatan Deep Learning dalam Pembelajaran oleh Prof. Dr. Dinn Wahyudin, M.A.
Di sisi lain, UBBG hanya menyelenggarakan satu pelatihan yang digabungkan dengan kegiatan lain, yang keabsahannya dipertanyakan oleh mahasiswa karena perubahan spanduk di tengah acara demi dokumentasi Gelar Karya di USK juga difasilitasi penuh oleh kampus, berbeda dengan UBBG yang justru menyerahkan seluruh pelaksanaan pada mahasiswa.
Hingga berita ini diturunkan, pihak UBBG belum memberikan tanggapan resmi atas keluhan para mahasiswa. [nh]