Minimnya Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Nurzahri: Pemilih Tidak Lagi Melihat Gender
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di Indonesia sudah ada kebijakan afirmasi atau kuota 30 persen untuk perempuan. Hanya saja representasi perempuan di parlemen jumlahnya masih sedikit sekali.
Berdasarkan data Komisi Independen Pemilihan (KIP) pada Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di parlemen DPR Aceh hanya delapan orang dari 81 kursi atau tingkat keterwakilannya hanya 11 persen.
Begitu juga di beberapa daerah lain seperti di Pidie (17,5 persen), Langsa (16 persen) Lhokseumawe (16 persen), Banda Aceh (13 persen), dan sebagainya. Kecuali di Aceh Tamiang yang memang jumlahnya cukup tinggi, yaitu berada di angka 36,6 persen.
Juru Bicara Partai Aceh, Nurzahri saat menanggapi perihal ini menyatakan, minimnya keterwakilan perempuan di parlemen pada sistem Pemilu proporsional terbuka disebabkan oleh masyarakat pemilih yang menentukan kandidat legislatif di lapangan murni berdasarkan kemampuan si Caleg, bukan memandang gender sebagai indikator.
Menurutnya, permasalahan legislatif ini tidak dilihat dari kompleksitas gender seorang caleg, yang dilihat adalah bagaimana si caleg ini menjalin hubungan dengan masyarakat.
“Hasil yang kemudian di DPRA atau DPRK yang mungkin jumlah perempuannya sangat sedikit, itu lebih kepada pilihan masyarakat, bukan andil partai,” jelas Nurzahri kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Selasa (10/1/2023).
Nurzahri melanjutkan, meskipun pemilih secara umum tidak lagi melihat gender, tetapi Partai Aceh juga berjuang memberikan ruang politik kepada perempuan.
“Bahkan Partai Aceh membuat media-media pendidikan politik untuk meningkatkan kapasitas diri para perempuan-perempuan yang akan kita beri ruang,” ujarnya.
Di sisi lain, Nurzahri menyatakan, minimnya keterwakilan perempuan di parlemen bukan hanya permasalahan yang terjadi di Indonesia, tetapi juga persoalan dunia.
Ia mengambil contoh seperti Amerika Serikat dan juga Inggris yang kuota keterwakilan perempuan, baik yang ada di tingkat legislatif maupun eksekutif juga sangat sedikit.
“Saya pikir, ini bukan hanya permasalahan kita di sini tetapi juga permasalahan di seluruh dunia. Karena sebenarnya para pemilih tidak lagi melihat kapasitas gender dari caleg, tetapi yang dilihat adalah kapasitas kemampuan,” ungkapnya.
Di samping itu, Nurzahri juga mengaku tidak yakin jika di Pemilu 2024 nanti bisa menghasilkan keterwakilan perempuan 30 persen di parlemen. Namun ia berspekulasi, jika seandainya sistem Pemilu dirubah, dibuat jatah kursi 30 persen wajib diperuntukkan kepada kalangan perempuan, bisa saja hal tersebut terwujud.
“Misalkan ada 81 kursi, 30 persen dari kursi itu akan dipertarungkan oleh sesama perempuan. Yang laki-lakinya sisa 70 persen, nah itu pasti tercapai. Tapi kalau hanya dalam proses pecalonan, akhirnya kan sistem pertarungan bebas. Laki-laki bertarung dengan perempuan dan sesama laki-laki, perempuan bertarung dengan laki-laki dan sesama perempuan. Tarung bebas jadinya,” pungkasnya. [AKH]