Misteri kedahsyatan tsunami 2004 Aceh mulai Terkuak
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Misteri kedahsyatan tsunami 2004 di Aceh mulai terpecahkan, berdasarkan temuan tim peneliti Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Earth Observatory of Singapore (EOS) Nanyang Technological University (NTU) pada sebuah gua dekat pantai di Meunasah Lhok, Kecamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar diketahui bahwa wilayah Aceh telah dilanda tsunami-tsunami besar sejak 7400 tahun yang silam.
"Masyarakat setempat sering menyebut gua tersebut dengan nama Guha Ek Leuntie (gua kotoran kelelawar). Banyaknya tumpukan kotoran kelelawar (guano) yang melapisi dasar gua tersebut malah menjadi kunci utama pemecah misteri serangkaian peristiwa megatsunami di Aceh. Untuk itu, keberadaan gua pantai ini perlu dilestarikan sebagai upaya pendidikan bencana dan pengembangan kawasan heritage terkait kebencanaan" ujar Nazli Ismail, Ph.D, Dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh untuk menjadi Narasumber pada Sesi Khusus #1 di arena kegiatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana yang berlangsung tanggal 22 Oktober 2018 di Medan Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Aceh, H. Teuku Amad Dadek, SH yang sedang berada di Medan, Nazli Imail, Ph.D memaparkan tentang Pelestarian Gua Pantai "Guha Ek Leuntie" yang Menyimpan Bukti Tsunami Purba (Museum Alam).
Dalam sebuah tulisan yang dipublikasikan di Nature Communications, peneliti Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) / Pusat Unggulan Iptek Mitigasi Bencana Tsunami, Universitas Syiah Kuala dan tim peneliti dari Earth Observatory of Singapore (EOS), Nanyang Technological University (NTU) telah berhasil mengidentifikasi lapisan-lapisan pasir yang terendapkan oleh kejadian-kejadian tsunami pada masa lampau di dalam gua tersebut. Lapisan-lapisan pasir tsunami ini bersusun silang dengan endapan guano secara rapi. Melalui proses indentifikasi lapisan, penentuan umur radioaktif unsur karbon dan analisis fosil-fosil mikroskopis atau foraminifera, para ilmuan telah mampu merangkaikan kembali peristiwa-peristiwa tsunami purba dahsyat yang pernah menghantam daratan Aceh.
Sejak 7400 tahun lalu, kejadian-kejadian tsunami di Aceh senantiasa berulang dengan periode perulangannya sangat beragam. Ada tsunami yang berulang dalam 2000, tetapi ada juga yang berulang kejadiannya dalam rentang kurang dari seratus tahun. Oleh karena itu, kemungkinan perulangan kembali tsunami-tsunami dahsyat di Aceh sangat besar.
Berdasarkan hubungan antara ketebalan lapisan pasir tsunami di dalam gua dan interval perulangan tsunami dapat kami simpulkan bahwa masa jeda (dormansi) yang panjang kemungkinan mengikuti tsunami 2004.
Kajian gua tsunami Aceh memberikan gambaran yang sangat penting tentang perulangan bahaya tsunami di sepanjang zona subduksi (megathrust Sunda) yang membentang di sebelah barat lepas pantai Sumatera.
Dengan mempelajari bukti-bukti tsunami purba pada gua dekat pantai tersebut, maka semakin terbantu usaha para ahli geologi untuk memecahkan teka-teki prediksi tsunami yang serupa dengan tsunami 2004 pada masa mendatang. Selama ini, informasi kejadian tsunami purba berdasarkan catatan sejarah dan rekaman peralatan kegempaan masih sangat singkat durasinya. Sehingga rekaman tersebut tidak mampu memberikan gambaran yang menyeluruh tentang potensi tsunami-tsunami besar.
Oleh karena itu perlu dicari bukti-bukti tsunami besar yang lebih lama, baik dari sisi waktu maupun dari sisi perulangan. Informasi-informasi semacam ini akan sangat bermanfaat untuk membantu mengurangi risiko bencana pada masyarakat Aceh yang umumnya mendiami wilayah pesisir.
Salah satu kekhawatiran yang perlu kita waspadai dari hasil temuan di gua ini adalah dari adanya bukti ketidakteraturan periode ulang tsunami besar yang pernah terjadi di Aceh dalam masa hampir 8000 tahun tersebut. Ini merupakan tantangan yang besar bagi para ilmuan dan pemerintah untuk penyelamatan masyarakat pesisir dari bahaya tsunami.
Rekaman dari dalam gua membuktikan, perulangan kejadian tsunami besar di Aceh pernah terjadi dalam rentang waktu yang sangat singkat dan pernah juga terjadi dalam rentang waktu 200 tahun. Sehingga sangat sulit bagi kita untuk memprediksi secara tepat kejadian tsunami besar berikutnya setelah tsunami 2004. Pemerintah perlu meningkatkan upaya penyadaran masyarakat terhadap ancaman bahaya tsunami melalui pendidikan.
"Guha Ek Lenutie di Kecamatan Lhong, Aceh Besar merupakan salah satu situs yang dapat dijadikan sebagai tempat pembelajaran. Oleh karena itu, Universitas Syiah Kuala dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) berharap keberadaan gua tsunami tersebut dapat dilestarikan. Berdasarkan hasil amatan kami, telah terjadi kegiatan penambangan batu secara masif di sekitar Guha Ek Leuntie pada tahun 2016. Batu-batu gajah yang ditambang dari gua tersebut digunakan untuk pembangunan dermaga di kabupaten Nagan Raya. Pada saat itu, penambangan hampir merambah sampai beberapa meter dari gua. Jika dilakukan secara terus-menerus, penambangan ini dapat mengancam keutuhan gua sehingga mengancam akan hilanganya informasi berharga tentang rekaman tsunami purba yang berumur ribuan tahun tersebut. " ujarnya
Oleh karena itu, Universitas Syiah Kuala dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mendesak kepada semua pihak untuk penyelamatan situs gua melalui advokasi pada masyarakat gampong setempat, pemerintah daerah Kabupaten Aceh Besar, Badan Penanggulangan Bencana Aceh, dan Kemenristek Dikti untuk menetapkan gua ini sebagai situs cagar tsunami purba yang perlu dilindungi dan dilestarikan dan Pengelolaan situs gua sebagai fasilitas pendidikan dan penelitian lapangan mengenai tsunami purba dan sarana penyadaran akan pentingnya kesiapsiagaan bencana di Aceh. Pengelolaan situs dapat dilaksanakan oleh Universitas Syiah Kuala bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Pemerintah Daerah Aceh Besar, dan masyarakat gampong setempat.
Dalam upaya penyelamatan situs gua ini, Universitas Syiah Kuala akan berupaya menggerakkan sumber daya dari berbagai pemangku kepentingan yang memiliki potensi untuk peduli dan berkontribusi pada penyelamatan gua ini seperti Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, Kemenristek Dikti, Museum Tsunami Aceh, Badan Penanggulangan Bencana Aceh dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Besar, Earth Observatory of Singapore, dan lain-lain.
Lembaga swasta juga dapat berperan mendukung penyelamatan dan peningkatan fungsi edukasi situs ini melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Akhirnya, kekayaan bukti tsunami purba yang sampai saat ini masih satu-satunya yang ada di dunia dapat terselamatkan secara segera, cermat, dan berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. (BPPA)