DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) kini berada di ujung tanduk. Satwa kunci ekosistem hutan itu berstatus Kritis (Critically Endangered) menurut daftar merah IUCN.
Perambahan hutan, konflik dengan manusia, serta lemahnya penegakan hukum telah mempercepat penurunan populasinya. Padahal, sejak dahulu gajah bukan hanya bagian penting dari hutan, tetapi juga dari peradaban bangsa.
Keresahan inilah yang melatari Mongabay Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Kisah Gajah Sumatera. Buku setebal hampir 300 halaman itu menghimpun laporan investigasi, feature, dan dokumentasi lapangan tentang gajah Sumatera yang telah dipublikasikan selama lebih dari satu dekade.
Peluncuran buku ini dikemas dalam sebuah seminar bertema “Menjaga Gajah Sumatera dalam Krisis Habitat dan Harapan Konservasi”, yang diselenggarakan Mongabay Indonesia bersama Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
“Gajah pernah menjadi simbol kebesaran kerajaan dan bagian dari kehidupan masyarakat. Tetapi hari ini, gajah justru dianggap hama, diburu, dan habitatnya dihancurkan,” kata Junaidi Hanafiah, jurnalis Mongabay Indonesia sekaligus salah satu penulis buku ini kepada media dialeksis.com, Minggu 31 Agustus 2025.
Buku Kisah Gajah Sumatera menelusuri jejak panjang hubungan manusia dengan gajah. Pada masa Kerajaan Sriwijaya, gajah digunakan sebagai kendaraan perang sekaligus simbol kekuasaan. Di masa Sultan Iskandar Muda, gajah Po Meurah menjadi kebanggaan Kerajaan Aceh Darussalam.
“Masyarakat Aceh dulu menyebut gajah sebagai Teungku Rayeuk. Sebuah sebutan penuh penghormatan. Artinya, gajah tidak hanya dipandang sebagai satwa, tetapi juga bagian dari tatanan sosial dan budaya,” ujar Junaidi.
Nama-nama desa di berbagai provinsi di Sumatera menjadi bukti jejak historis itu. Dari Pulo Gajah Mate di Aceh, Gajah Sakti di Riau, hingga Kota Gajah di Lampung.
“Sayangnya, makna penghormatan itu hilang. Kini, yang tersisa justru kisah konflik antara manusia dengan gajah,” tambahnya.
Buku ini dibagi menjadi lima bagian utama. Bagian pertama, Gajah Sumatera dan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia, mengulas bagaimana membunuh gajah sama saja dengan menghancurkan peradaban.
Bagian kedua, Gajah di Kehidupan Kita, menjelaskan peran gajah sebagai satwa kunci dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Bagian ketiga, Kearifan yang Hilang, mengangkat perubahan relasi manusia dengan gajah, dari sahabat menjadi lawan.
Baginn keempat, Kisah-kisah Viral, merekam peristiwa tragis, gajah yang mati diracun, kakinya terjerat, atau disiksa hingga cacat. Sedangkan bagian kelima, Masa Depan Gajah Sumatera, memotret upaya konservasi sekaligus optimisme yang masih tersisa.
“Buku ini bukan sekadar kumpulan laporan, tapi juga refleksi atas perjalanan panjang konservasi gajah di Indonesia. Harapannya, ia bisa menjadi bahan edukasi dan penyadaran publik,” jelas Junaidi Hanafiah.
Menurut Junaidi, sejak 2021 hingga 2023, tim Mongabay Indonesia kembali menelusuri sejumlah kawasan habitat gajah. Mereka mendapati pola yang sama, hutan menyusut, ruang hidup gajah menyempit, konflik meningkat.
“Kita melihat gajah mati bukan hanya karena diburu, tapi juga karena habitat mereka hilang. Jika hutan hancur, gajah pun hilang. Begitu pula sebaliknya,” katanya.
Namun, Junaidi tetap menyisakan harapan. Ia percaya, buku ini bisa menjadi medium yang menghubungkan kembali masyarakat dengan satwa yang pernah begitu dimuliakan. “Kami ingin publik sadar bahwa menyelamatkan gajah sama dengan menyelamatkan peradaban bangsa. Gajah adalah bagian dari identitas kita sebagai orang Sumatera, sebagai bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Buku Kisah Gajah Sumatera disunting oleh Rahmadi Rahmad, Ridzki R. Sigit, dan Taufik Wijaya, dengan kontribusi belasan jurnalis, termasuk Ahmad Supardi, Akhyari Hananto, Elviza Diana, Fransisca N. Tirtaningtyas, Junaidi Hanafiah, Lili Rambe, Nuswantoro, Petrus Riski, Rahmadi Rahmad, Rahmi Carolina, Ridzki R. Sigit, Suryadi, dan Taufik Wijaya. Diterbitkan Mongabay Indonesia dan dipublikasikan Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara, cetakan pertama terbit Januari 2025.