DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Hasil Muzakarah Ulama Aceh menyepakati bahwa tidak boleh ada dualisme kepemimpinan di masjid antara imam dan Badan Kemakmuran Masjid (BKM). Dualisme dinilai berpotensi memicu konflik serta merusak marwah masjid sebagai pusat ibadah dan pembinaan umat.
Penegasan tersebut disampaikan dalam hasil Muzakarah Ulama Aceh yang digelar di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Minggu, 14 Desember 2025.
Dalam forum tersebut ditegaskan Imam Besar Masjid memiliki otoritas keagamaan utama karena fungsinya sebagai pengelola dan penanggung jawab pelaksanaan ibadah di masjid.
Muzakarah juga menegaskan seluruh praktik ibadah di masjid-masjid Aceh harus berlandaskan manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah, dengan merujuk pada akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah serta fikih bermazhab Syafi’i sebagai rujukan utama yang telah mengakar kuat dalam tradisi keagamaan masyarakat Aceh.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk. H. Faisal Ali mengatakan, imam harus diberikan ruang dan kewenangan yang jelas dalam mengatur pelaksanaan ibadah. Namun demikian, kewenangan tersebut perlu dijalankan dengan mengedepankan musyawarah, kebijaksanaan, serta pendekatan yang santun.
“Pengurus masjid, khususnya BKM, diharapkan memiliki pemahaman fikih ibadah yang memadai, termasuk terkait thaharah dan sarana pendukung ibadah, serta kemampuan manajerial yang baik. Jangan sampai fasilitas bersuci di masjid tidak memenuhi standar kesucian,” ujarnya dalam rekomendasi hasil Muzakarah Ulama Aceh.
Selain itu, Muzakarah Ulama Aceh menekankan pentingnya keseragaman tata cara ibadah di masjid-masjid Aceh dengan tetap menjunjung kearifan lokal, sikap saling menghormati, dan semangat persaudaraan. Praktik ibadah yang telah hidup dalam tradisi keagamaan masyarakat Aceh diharapkan tetap terjaga tanpa menimbulkan perpecahan.
Pengelolaan masjid juga didorong agar dilakukan secara profesional, modern, transparan, dan akuntabel, terutama dalam pengelolaan keuangan. Setiap pemasukan dan pengeluaran harus dicatat dengan baik, diaudit secara internal, dipisahkan antara dana operasional dan dana pembangunan, serta dipublikasikan kepada jamaah sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Melalui Muzakarah ini, para ulama menyerukan agar masjid-masjid di Aceh dikembalikan pada fungsi utamanya sebagai pusat peradaban Islam, markaz ta’lim dan tsaqafah, yang mampu melahirkan masyarakat beriman, berilmu, berakhlak, dan berdaya.