NTP Stagnan, Ketua PDIP Aceh Ungkap 5 Aspek Penting Ini
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Ketua DPD PDIP Aceh Muslahuddin Daud. [Foto: Ist.]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berdasarkan rilis yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh untuk bulan April 2022, persentase Nilai Tukar Petani (NTP) di Aceh untuk bulan tersebut stagnan. Dalam artian, antara bulan Maret dengan April tahun 2022 tidak mengalami perubahan signifikan.
Bahkan, per April 2022 menurut perbandingan provinsi se-Sumatera, dari 10 provinsi yang ada di pulau Sumatera, provinsi Aceh berada pada urutan ke-9.
Untuk diketahui, NTP merupakan rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. NTP merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani.
Menanggapi nilai NTP Aceh yang stagnan, Ketua DPD PDIP Aceh Muslahuddin Daud menyatakan, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan mengapa nilai tukar petani rendah. Diantara beberapa faktor yang disebutkan, salah satunya disebabkan karena biaya produksi tinggi.
“Sekarang kita lihat harga pupuk sudah sangat tinggi, kemudian harga pestisida juga sudah sangat tinggi naiknya,” ujar Muslahuddin kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Rabu (11/5/2022).
Selain dari besarnya biaya produksi, alasan stagnannya NTP Aceh menurut Muslahuddin juga disebabkan oleh keadaan market (pasar) di Aceh yang belum terlalu besar. Dalam artian, pasar-pasar yang ada di Aceh lebih banyak bersifat domestik oriented.
Menurutnya, pasar dengan sifat market oriented hanya terbatas memberi nilai tambah, sehingga pemasaran hasil tani akan lebih berfokus pada sumber material atau bahan baku mentah saja.
Hal ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa NTP Aceh stagnan menurut dia, karena antara apa yang diperoleh petani dengan apa yang dibeli petani menjadi tidak seimbang.
Ketua DPD PDIP Aceh itu juga menyampaikan, untuk mengupayakan perbaikan NTP di Aceh, terdapat beberapa peran yang harus dimainkan. Karena bila bicara masalah pertanian maka tidak hanya bicara masalah budidaya saja, tetapi varian-varian lain juga ikut mempengaruhi NTP.
Menurut Muslahuddin, untuk memperbaiki persentase NTP Aceh terdapat lima aspek pertanian holistik yang perlu dibenahi. Kelima aspek tersebut meliputi integrated infrastructure (infrastruktur), finance (keuangan), market engage (lingkar pasar), teknologi budidaya dan mekanisasi, serta kekuatan kelembagaan daripada petani itu sendiri.
“Lima hal ini yang harus diperbaiki sekaligus, kalau tidak, ya, kembali lagi ke siklus yang sama seperti yang terjadi saat ini,” ungkapnya.
Sebagai gambaran, Muslahuddin memberikan contoh mengapa kelima aspek itu sangat penting untuk peningkatan kesejahteraan petani Aceh.
Berdasarkan cerita yang dialaminya, di waktu lahannya panen pepaya, akibat akses jalan yang buruk menyebabkan ada tambahan biaya langsir pepaya. Pada saat itu, biaya langsir pepaya miliknya sekitar Rp400/biji.
Akibat ada tambahan biaya langsir, pepaya yang awalnya seharga Rp2.200/biji, ketika dihitung dengan biaya produksi menyebabkan harga pepaya per biji hanya bernilai Rp1.800/biji. Belum lagi ditambah dengan biaya transportasi, sehingga kurang lebih harga pepaya per biji hanya bernilai Rp1.500.
“Padahal hasil tani kita yang dibeli orang di pasaran bisa sampai harga Rp10.000/biji. Sedangkan petani sendiri hanya dapat hasil Rp1.500/biji. Uang Rp1.500 kalau ditukar dengan kopi, maka NTPnya pasti rendahlah. Ini kita bicara hanya dari sisi infrastruktur dan pasar, belum lagi dengan sisi lainnya. Makanya ada beberapa hal lain yang mesti kita perhatikan,” pungkasnya. [AKH]