Pakar Gender Budgeting Minta Uang Rakyat Harus Dikontrol Lebih Kuat
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Diskusi publik yag bertajuk "Korupsi dan Gender Budgeting" di LBH Banda Aceh, Kamis (9/12/2021). [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Momentum Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2021 kali ini, LBH Banda Aceh juga mengadakan diskusi publik yang bertajuk "Korupsi dan Gender Budgeting" di Pelataran LBH Banda Aceh, Kamis (9/12/2021) dengan menghadirkan pembicara Pakar Gender Budgeting, Abdullah Abdul Muthaleb. Fatma Susanti dari Komunitas Pendar dan Hafidh dari perwakilan MaTA.
Abdullah Abdul Muthaleb mengatakan sejak disusun perencanaan penganggaran baik APBN, APBA, APBK hingga APBD sudah legal formal terjadinya perampokan secara tertulis. Misal, ada kegiatan-kegiatan yang pada dasarnya tidak diperlukan masyarakat.
"Contoh tiba-tiba ada pembangunan jalan atau ada pasar di tengah hutan dan lain sebagainya. Yang demikian itu banyak sekali terjadi. Itu legal formalnya memang ada," ucapnya dalam diskusi publik itu.
Abdullah menyebutkan, beberapa tahun terakhir semakin berkurang energi kritis masyarakat, sehingga legal formal terjadi tidak lagi dicuri secara kasar tetapi secara nyata di dokumen.
Ia juga menyinggung soal logika berpikir soal persepsi uang rakyat dan uang negara, memang tanpa sadar Undang-undang menetapkan keuangan negara.
"Padahal banyak hasil uang negara itu berasal dari rakyat membayar segala retribusi, yang seharusnya itu menjadi uang rakyat yang dikelola oleh negara," tegasnya.
Namun, lanjutnya, logika ini telah dikaburkan oleh para politisi atau birokrat, jadi rakyat tidak merasa kepemilikan terhadap anggaran negara.
"Misalnya kita kritik uang sampah yang dikumpulkan, kenapa persoalan sampah nggak beres atau pembayaran retribusi lainnya tapi kenapa nggak beres. Tetapi logika itu dibalik sebagai uang negara sehingga rasa kritis kita menjadi kabur," jelasnya lagi.
Untuk itu, ia mencatat hal tersebut menjadi reflektif Hakordia 2021, bahwa melihat anggaran negara itu adalah uang rakyat sehingga harus dikontrol lebih kuat.
Akibat perbuatan korupsi para elit menimbulkan berbagai dampak yang besar terutama bagi kelompok rentan (perempuan, masyarakat miskin, difabel) yang tidak punya aksen.
"Contoh, di level kampung ada dana desa sekarang 800 juta yang paling berdampak yaitu kelompok rentan. Karena Musrenbang aja mereka nggak bisa hadir, apalagi mau tanya soal dokumen penganggaran," jelasnya lagi.
Menurutnya, masih banyak sekali gampong-gampong di Aceh yang informasi itu ditutup, kemudian dampaknya jelas terlihat untuk kelompok-kelompok tertentu.
"Contoh dana kesehatan program posyandu atau dana bos, itu kalau dikorupsi itu jelas pelayanannya berdampak langsung pada kualitas yang dierima, cuma kalau dilihat kesadaran masyarakat yang permisif tadi, dia melihat itu bukan sebagai merampok uang rakyat tapi ini hasil kerja layanan," terangnya.
Contoh lain, lanjutnya, di Puskesmas atau Pustu jika ada layanan yang buruk, sebenarnya bukan hanya pelayanan yang buruk tetapi uangnya sudah dirampok.