DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Panglima Laot Aceh, Miftah Tjut Adek menegaskan bahwa secara hukum adat laut, penggunaan pukat trawl adalah bentuk pelanggaran berat terhadap nilai-nilai kelestarian laut Aceh dan tidak dibenarkan dalam kondisi apa pun.
“Secara hukum adat laot, tidak boleh ada operasional trawl di seluruh laut Aceh. Trawl itu bukan sekadar alat tangkap, tapi mesin penghancur ekosistem. Ia membunuh terumbu karang, memusnahkan habitat, dan menghancurkan biota laut dari dasar,” kata Miftah kepada Dialeksis.com, Selasa (15/7/2025).
Menurutnya, keberadaan kapal-kapal trawl di kawasan Selat Malaka khususnya di pesisir Aceh Timur dan Kota Langsa tidak hanya melanggar aturan negara dan adat, tetapi juga merampas hak hidup nelayan tradisional yang bergantung penuh pada keberlangsungan laut.
“Kalau trawl terus beroperasi, anak cucu kita tidak akan mengenal lagi ikan-ikan di laut Aceh. Ini bukan sekadar urusan hari ini, ini tentang masa depan generasi,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Miftah juga menyampaikan apresiasi kepada aparat pengawasan dari Pangkalan PSDKP Lampulo dan Belawan yang menurutnya telah merespons cepat laporan-laporan masyarakat pesisir terkait aktivitas trawl ilegal.
“Kami Panglima Laot sangat berterima kasih kepada PSDKP di Lampulo dan Belawan yang sudah respon cepat dan melakukan patroli terhadap keluhan nelayan selama ini," ujarnya.
Sebelumnya, Yayasan Konservasi Alam Timur Aceh (YAKATA) juga mendesak KKP dan Ditjen PSDKP untuk bertindak tegas terhadap pelaku illegal fishing di perairan Aceh Timur.
Menurut Ketua YAKATA, Zamzami Ali, praktik penggunaan trawl adalah bentuk kejahatan lingkungan yang mengancam regenerasi ekosistem laut, keberlangsungan spesies, dan masa depan nelayan lokal.
Kepala PSDKP Belawan, Muhamad Syamsu Rokhman, memastikan satu unit Kapal Pengawas HIU 01 segera dikerahkan ke Langsa dan Idi untuk menyelidiki aktivitas ilegal tersebut. Pemeriksaan akan difokuskan pada alat tangkap, zona operasi, serta dokumen legalitas kapal. [nh]