Panglima Laot Jelaskan Alasan Kapal Nelayan Sering Hilang
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Sekjen Panglima Laot, Oemardi [foto:Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sekjen Panglima laot, Oemardi menanggapi kabar kepulangan empat nelayan asal Sigli, Kabupaten Pidie, yang disambut dalam suasana haru oleh ratusan keluarga dan kerabat mereka pada Jumat (25/12/2020).
Mereka adalah Nurdin (55), Yusri (30), M Razi (37), dan Pawang Gam (38). Mereka merupakan anak buah kapal KM Raja Walied 02.
Sebelumnya, keempat nelayan itu dilaporkan hilang selama delapan hari karena kapalnya terombang-ambing sampai mendekati perairan negara Myanmar.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, KM Walied 02 itu berlayar dari PPS Lampulo Banda Aceh tujuan ke Kabupaten Pidie pada Jumat (18/12).
Namun sesampainya di perairan antara Pulau Weh, Kota Sabang dengan Krueng Raya, Aceh Besar, kapal motor mereka mengalami kerusakan mesin.
“ Kadang-kadang kapal itu ada yang punya radio ada yang enggak, kalau jaraknya dekat itu biasanya terjangkau, kalau jaraknya jauh radio ada batasnya juga,” Oemardi saat dihubungi Dialeksis.com, Sabtu (26/12/2020).
Menurutnya, sejauh ini belum ada kehilangan kapal sampai berbulan-bulan, karena nelayan-nelayan Aceh itu sering berlayar ke teluk benggala dan selat malaka.
“ Jadi lumayan dekat mau ke kiri atau ke kanan, kecuali dia tertarik harus ke Samudera, itu yang bisa hilang, namun beberapa minggu kemudian mendapat laporan bahwa ada kapal yang terdampar kemana atau diselamatkan sama nelayan daerah lain,” ungkapnya.
Setiap kapal yang keluar masuk itu harus melapor ke kuala pelabuhan dan di setiap pelabuhan itu ada panglima laot lhok masing-masing.
Sebenarnya, secara keseluruhan khusus hari jumat itu memang tidak boleh melaut, dari pagi sampai sore, namun ada beberapa panglima lhok kemudian menyepakati setelah asar boleh-boleh saja, tetapi itu hanya sebatas keputusan lokal dan mereka lebih tahu mengapa boleh diambil tetapi pada dasarnya hari jumat itu tidak boleh melaut.
Untuk kejadian ini, diinformasikan KM Walied 02 berangkat pada jumat sore, itu semua tergantung pada keputusan lhok masing-masing.
“ Kalau ada yang melanggar mungkin nanti dia dikasih sanksi, pelanggaran pertama itu biasanya, hanya 3 hari, kalau terjadi pengulangan itu semakin naik, sampai pada tahap kapalnya ditenggelamkan,” kata Panglima Laot.
“ Kalau sudah berkali-kali tidak mengindahkan aturan, tetapi yang memutuskan itu bukan di provinsi, tetapi lhok masing-masing karena aturan adat itu disana,” tambahnya.
Ia menjelaskan, Perairan Myanmar dengan memang tidak terlalu jauh dengan batas perairan yang sudah dibatasi, namun kebetulan arah angin sedang ke arah tersebut, kali ini beruntung juga tidak ditangkap.
“ Susah juga ini baru saja kemarin kami mengurus kepulangan nelayan dari India, masak harus ada lagi,” ucapnya.
Adapun mekanisme pengurusan pemulangan kapal harus melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), setelah data terkirim lalu dicek kembali.
Setelah mereka mengecek alasan ditangkap kenapa, dalam situasi apa, kalau memang karena kerusakan itu biasanya seminggu sudah bisa dikembalikan, paling lama dua minggu, tetapi kalau terbukti ditangkap sedang mengambil ikan di lautan orang lain, itu langsung ke pengadilan biasanya,
“ KBRI juga susah bagaimana mau membela kalau nelayan curi ikan orang, jika kasusnya memang kerusakan, sebagian besar dipulangkan dengan cara yang mudah setelah kami advokasi,” pungkasnya.