DIALEKSIS.COM | Aceh - Penetapan Fadhil Ilyas sebagai Direktur Utama PT Bank Aceh Syariah (BAS) lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang dipimpin Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Senin (8/9/2025), memantik perhatian kalangan akademisi.
Para rektor dari sejumlah perguruan tinggi di Aceh memberikan pandangan beragam, mulai dari soal harapan pada kepemimpinan baru, dorongan penguatan tata kelola, hingga tuntutan agar Bank Aceh tampil sebagai motor penggerak pembangunan berbasis riset.
Dimulai dari respon Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal), Prof. Dr. Herman Fithra, S.T., M.T., IPM., Asean.Eng menilai tantangan terbesar Bank Aceh ke depan adalah membangun tata kelola yang modern dan adaptif.
“Bank Aceh harus menjadi institusi keuangan yang tidak hanya sehat dari sisi bisnis, tetapi juga akuntabel, transparan, dan berbasis teknologi. Dengan begitu, kepercayaan publik akan semakin kuat,” ujarnya.
Ia menambahkan, kehadiran Fadhil Ilyas adalah momentum pembaruan manajerial. “Kita berharap beliau menghadirkan kepemimpinan yang berorientasi pada efisiensi dan pelayanan prima,” tegasnya.
Sementara itu pendapat Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. H. Mujiburrahman, M.Ag mengingatkan pentingnya penguatan prinsip syariah dalam praktik perbankan di Aceh.
“Sebagai bank syariah milik daerah, Bank Aceh memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan kepatuhan syariah benar-benar diimplementasikan. Ini bukan sekadar soal bisnis, tetapi juga soal amanah,” katanya.
Ia berharap, di bawah kepemimpinan baru, Bank Aceh lebih aktif mendukung ekosistem ekonomi syariah. “UMKM berbasis syariah, industri halal, dan sektor pendidikan bisa menjadi mitra strategis yang harus dirangkul,” tambahnya.
Sedangkan pendapat dari Rektor Universitas Teuku Umar (UTU), Prof. Dr. Drs. Ishak Hasan, M.Si. menekankan agar Bank Aceh tidak terjebak dalam rutinitas perbankan konvensional.
“Bank daerah harus hadir di sektor riil. Itu artinya pembiayaan harus menyentuh langsung petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Di Barat-Selatan Aceh, misalnya, potensi kelautan dan perkebunan sangat besar. Bank Aceh harus punya instrumen khusus untuk sektor ini,” ujarnya.
Menurutnya, kepemimpinan baru mesti menekankan pembangunan inklusif. “Rakyat di akar rumput harus benar-benar merasakan manfaat Bank Aceh, bukan hanya kalangan elit,” tegasnya.
Rektor terkenal ramah ini menekankan kepada BAS, bank juga harus berbasis riset dalam mengeluarkan kebijakan maupun program, kearifan lokal, nilai-nilai ke-Acehan yang hidup dalam masyarakat Aceh serta terkoneksi luas dengan ekosistem ekonomi global.
Bahkan BAS juga harus memikirkan sistem keuangan selain syariah untuk menyesuaikan kebutuhan global yang menghendaki keberadaan keuangan kovensional ketika bersaing di provinsi lain.
“Ketika BAS ingin melebarkan sayap bisnisnya diluar Aceh harus berpikir juga mencari formula untuk segmen pasar yang masih menghendaki keberadaan bank konvensional jika ingin berhasil meraih kesuksesan dan nasabah yang banyak,” sarannya.
Bisa juga BAS membuka unit kecil untuk mengurusi transaksi konvensional untuk memberikan ruang kepada masyarakat yang masih berkeinginan hadirnya sistem konven, namun fokus ke syariah menjadi prioritas.
Terpenting juga menurut Rektor UTU, keberadaan BAS juga harus berkomitmen kuat sebagai pengungkit kemajuan ekonomi agro dan marine Aceh yang kaya sebagai sumberdaya kemakmuran Aceh yang berkelanjutan.
Hal lain disampaikan juga Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Ir. Marwan, IPU menyoroti pentingnya sinergi antara Bank Aceh dan lembaga riset.
“Bank Aceh tidak boleh berjalan sendiri. Perbankan modern selalu berbasis data, riset, dan proyeksi ilmiah. Karena itu, sinergi dengan universitas menjadi keharusan,” katanya.
Ia menambahkan, Bank Aceh bisa bermitra dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan riset perbankan syariah, inklusi keuangan, hingga transformasi digital.
“Kalau itu dilakukan, Bank Aceh bisa menjadi pionir, tidak hanya di Aceh tapi juga di kawasan Sumatra,” ungkapnya.
Di akhir pernyataannya Rektor USK menyampaikan Bank Aceh Syariah harus bisa mengisi kekosongan fungsi bank konvensional terutama dalam akses pembiayaan mikro utk masyarakat sektor pertanian dan perikanan, sehingga bisa melawan pinjaman online ilegal yang menjerat masyarakat luas di Aceh.
Bagi kalangan akademisi, penetapan Fadhil Ilyas bukan hanya soal regenerasi kepemimpinan di tubuh Bank Aceh. Lebih dari itu, ia dipandang sebagai momentum untuk meneguhkan kembali posisi Bank Aceh sebagai bank daerah yang kredibel, profesional, dan berdaya saing.
“Harapan kami, kepemimpinan baru ini membuka ruang dialog dengan kampus, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Karena Bank Aceh bukan hanya milik pemegang saham, tetapi juga milik rakyat Aceh secara keseluruhan,” tutur penutup Rektor Unimal.