Pasal Separatisme Dalam Surat Panggilan, F-PA: Harusnya Bukan Untuk Kombatan GAM
Font: Ukuran: - +
Sekretaris Fraksi Partai Aceh DPRA, Ir. H. Azhar Abdurrahman. [Foto: Ist]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Surat pemanggilan Polisi yang menyebutkan pasal makar/separatisme seharusnya tidak dilakukan terhadap kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena komitmen MoU Helsinki yang mengakui keberadaan Kedua Pihak GAM dan RI dalam sebuah perjanjian yang dibuat kedua pihak di Helsinki Finlandia yang turut dimediasi banyak Pihak Internasional.
Hal itu disampaikan Sekretaris Fraksi Partai Aceh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Ir. H. Azhar Abdurrahman dalam keteranganya, Rabu (22/12/2021).
“Kami menyarankan pihak Polda Aceh dan atau Pemerintah Pusat dapat mengajukan Yudicial Review terhadap Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 ke Mahkamah Agung RI sesuai dengan Keputusan MA dan MK yang menyebutkan Wewenang Pencabutan sebuah Perda dilakukan melalui Keputusan Mahkamah Agung RI,” sebutnya.
Azhar menjelaskan, MoU Helsinki ditandatangani sebagai pengakuan kedua pihak dalam sebuah resolusi konflik yang bermartabat, dan melahirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi Aceh dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kenyataannya sudah 17 tahun damai dan 16 tahun berlakunya UUPA Aceh masih belum sejahtera dan Pemerintah Pusat sepertinya hanya consern pada soal lambang dan bendera saja, namun abai terhadap berdirinya peradilan HAM di Aceh yang juga diamanatkan dalam pasal 259 UUPA (dalam jangka waktu 1 tahun setelah UUPA) agar hadir Keadilan buat Korban Pelanggaran HAM di Aceh,”ungkapnya.
Selain itu, kata Azhar, pemerintah pusat juga dinilai mengabaikan terhadap kewenangan-kewenangan Aceh dalam MoU dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) guna menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh.
“Padahal 70 % isi dari MoU Helsinki dan UUPA adalah menyangkut kesejahteraan dan kemakmuran bagi Rakyat Aceh. Kemudian, pemerintah pusat juga abai terhadap Kombatan GAM dan Korban Konflik Aceh, menyangkut Pemberian Kemudahan Ekonomi dan Bantuan Sosial serta Kompensasi atau Rehabilitasi terhadap harta benda publik dan perseorangan yang hancur akibat konflik,” terangnya.
Selanjutnya, kata dia, kewenangan Aceh untuk perdagangan ke Luar Negeri, mengundang wisatawan serta adanya auditor luar untuk transparansi semua pengumpulan hasil pendapatan Aceh dengan Pemerintah Pusat tidak pernah dilakukan. Dan banyak lagi kewenangan Aceh yang dilumpuhkan oleh ketentuan sepihak yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat seperti PP tentang kewenangan Pemerintah yang bersifat nasional di Aceh (bertentangan dengan pasal 8 dan Pasal 11 UUPA).
Menurut Azhar, MoU Helsinki adalah naskah resmi Pemerintah sekaligus naskah resmi NKRI Indonesia dan pengakuan kedua Pihak RI dan GAM akan eksistensi negara dan pemerintahan sehingga sangat tidak tepat jika ini kembali diartikulasikan kembali dalam ketidak percayaan dan ketidak setujuan dari kedua pihak.
“Konsep dan pengertian Damai Aceh adalah terlaksananya semua komitmen MoU Helsinki yang sudah disepakati oleh kedua pihak dengan bermartabat, sehingga tidak timbul persepsi bahwa penanda tanganan komitmen MoU Helsinki adalah sebuah kekeliruan dan atau sebuah konsep tipu muslihat dari para pihak,” jelasnya.
Sekedar untuk diketahui, bahwa Peraturan Pemerintah nomor 77 tentang Bendera dan Lambang yang dikeluarkan di tahun 2007, bertentangan dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh “ Pasal 8 ayat 3, bahwa semua kebijakan Pemerintah untuk Aceh harus dengan pertimbangan dan konsultasi dengan Pemerintah Aceh.
Dalam Pasal 246 ayat 4, bahwa ketentuan mengenai Bendera dan Lambang Aceh akan diatur lebih lanjut dengan Qanun (bukan PP). Artinya PP nomor 77 tahun 2007, cacat Hukum dan cacat Prosedure.
UUPA adalah Lex Specialis sehingga dapat dianggap sebagai Kekhususan/Penyimpangan dari Hukum Umum (biasa). Dan Qanun sesuai Perintah UUPA adalah turunan dari UUPA.
Qanun nomor 3 tahun 2013 berlaku ketika Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah nomor 32 tahun 2004 masih berlaku, dimana aspek hukum persetujuan Qanun harus dipakai ketentuan Undang-Undang nomor 32 tentang Pemerintah Daerah, dimana dalam Pasal 145 ayat 3 disebutkan bahwa pembatalan Perda harus dilakukan melalui Peraturan Presiden.
Dan Pasal 145 ayat 7 menyebutkan bahwa jika dalam jangka waktu 60 hari sejak perda diteruskan ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan belum dikeluarkan Peraturan Presiden, maka Perda tersebut dinyatakan berlaku. [Nukilan]