Pelaku Kasus Perawat Putus Tangan Tak Serahkan Diri ke Polisi, Psikolog Sampaikan Penyebabnya
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepolisian telah menetapkan tersangka pada kasus meninggalnya seorang perawat Rumah Sakit Umum Daerah Tengku Peukan (RSUD-TP) yang putus tangan.
Dari hasil penyelidikan kepolisian setempat, kronologis kejadian diduga karena kelalaian yang menyebabkan orang lain mengalami luka berat dan kemudian meninggal dunia. Kelalaian ini diduga dilakukan seorang laki-laki tanpa ada unsur kesengajaan.
Kemudian, polisi menetapkan AB (65), warga Desa Ujong Padang, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sebagai tersangka dengan dijerat pasal 359 KUHPidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun dan paling singkat satu tahun.
Sebelumnya, Dialeksis.com telah menanyakan kepada Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Abdya sebagai pendamping hukum bagi AB. Melalui Ketua YARA Abdya, Suheimi mengatakan, andai setelah kejadian itu tersangka langsung mengakui dan menyerahkan diri ke polisi, maka AB kemungkinan tidak ditahan dan dijadikan tersangka.
“Tersangka tetap kena (Pasal 359 KUHPidana) karena bukan dilaporkan, melainkan kasus itu temuan polisi yang langsung turun tangan,” kata Suheimi, Jumat (8/1/2021) lalu.
Setelah pernyataan itu dikeluarkan, tim Dialeksis.com kemudian meminta pendapat seorang Psikolog untuk mencari tahu penyebab kenapa AB tidak mau langsung mengakui dirinya kepada polisi setelah kecelakaan yang memakan korban jiwa akibat mata pisau babat rumput yang lepas dari alat pemotong rumput pribadinya.
Ketua Majelis Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Aceh sekaligus Direktur Psikodista Konsultan, Nur Jannah Alsharafi mengatakan, kemungkinan kenapa AB tidak langsung mengakui diri kepada polisi pasca kejadian tersebut disebabkan karena AB alami Freak Out.
“Freak Out ini ialah emosi yang ekstrem. Perasaan ini muncul secara spontan dan tanpa peringatan karena alam bawah sadar individu menyidik adanya sesuatu, sehingga membuatnya cemas,” kata Psikolog Nur Jannah, Sabtu (9/1/2021).
Ia menjelaskan, kondisi freak out ini mengakibatkan seseorang delusional dan tidak bisa berpikir jernih. Kemudian, seseorang yang mengindap freak out, ia akan terus melarikan diri dari pengakuan dan tidak bisa menerima kenyataan.
Sementara itu, pengalaman-pengalaman lapangan juga bisa mensugesti seseorang mengindap freak out. Psikolog itu mencontohkan adanya berita-berita masyarakat yang menghakimi seorang pelaku pembunuhan membuat ia tidak berani mengutarakan kesaksiannya sehingga ia lebih memilih berdiam diri daripada menyerahkan diri kepada polisi.
“Wah, jangan-jangan kalau aku ngaku nanti bakal dipukulin lah, gini lah, kan begitu. Akhirnya alam bawah sadar dia lebih memilih untuk seperti itu sehingga ia bisa lari dari tanggung jawabnya,” jelasnya.
Psikolog itu berpesan agar para praktisi hukum dan para Psikolog yang tersebar di desa-desa untuk memberi arahan serta edukasi kepada masyarakat supaya kasus-kasus seperti AB tidak terulang kembali.
“Sosialisasi hukum menurut saya perlu supaya orang tahu dengan hukum. Yang namanya sengaja atau tidak sengaja dalam mencelakai seseorang pastinya beda. Jadi, jangan sampai akibat tekanan yang diterima si pelaku, akhirnya ia membuat pernyataan-pernyataan yang salah. Menutupi fakta yang sebenarnya terjadi,” terangnya.
Penguatan kesehatan mental juga perlu. Supaya Kalau mengalami kejadian seperti yang AB alami, harus bertindak seperti apa. Kemudian juga mendekatkan diri kepada Allah,supaya dia bisa berpikir lebih jernih dan akhirnya dengan sikap ksatria ia akan berani menceritakan, kan AB juga tidak bersalah, itu kan kecelakaan kerja,” pungkasnya.