Pemerintah Aceh akan Bentuk Komunitas Sadar Api
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah berencana membentuk komunitas sadar api di desa atau gampong-gampong yang dekat dengan hutan dan lahan yang selama ini rentan terjadi kebakaran. Jika berkolaborasi dengan manggala agni, komunitas ini diyakini mampu menjadi ujung tombak penanganan kebakaran lahan ditingkat tapak.
Hal tersebut disampaikan oleh alumni program Magister Teknil Arsitektur ITB itu, dalam sambutannya pada Rapat Koordinasi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, di Ruang Serbaguna Setda Aceh, Rabu (7/8/2019).
"Pemerintah perlu membentuk komunitas Masyarakat Sadar Api di desa-desa yang lokasinya dekat dengan hutan. Komunitas ini nantinya akan bekerjasama dengan Manggala Agni. Dua kekuatan ini kita harapkan mampu tampil sebagai ujung tombak bagi upaya-upaya pencegahan karhutla di tingkat tapak," imbuh Nova.
Selain itu, sambung Nova, langkah penegakan hukum bagi pelaku karhutla juga harus dipertegas. Karena berdasarkan data, hampir 99 persen karhutla di Indonesia merupakan tindakan yang disengaja. Oleh karena itu, aparat keamanan harus menindaktegas aktor pelaku karhutla agar menjadi pembelajaran sehingga kasus serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
"Masyarakat harus diberdayakan dan terlibat dalam upaya pengendalian karhutla. Kita telah berhasil membentuk komunitas-komunitas Sadar Bencana yang berperan mensosialisasikan pengetahuan kebencanaan bagi masyarakat. Tetapi komunitas ini lebih fokus pada bencana yang mengancam pemukiman. Sementara untuk karhutla masih belum ada," kata Nova.
Sebagaimana diketahui, sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015, tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, mengamanatkan bahwa penanggulangan karhutla tidak hanya melibatkan aparat keamanan dan Badan Penanggulangan Bencana, tapi juga melibatkan masyarakat. Dengan kata lain, sumber daya untuk pengendalian karhutla mutlak mesti diperkuat.
Nova menjelaskan, sebagai daerah dengan areal hutan yang cukup luas di Indonesia, Aceh juga dijuluki sebagai salah satu paru-paru dunia. Tentu tidak mengherankan jika di forum-forum dunia yang membahas perubahan iklim, hutan Aceh kerap menjadi perhatian.
Dunia sangat berharap, Indonesia memberi perhatian bagi upaya pelestarian hutan di Aceh. Merespon permintaan internasional itu, Pemerintah tentu memiliki program khusus untuk pelestarian hutan di wilayah ini. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menetapkan hutan Aceh sebagai kawasan yang perlu mendapat pengawasan.
"Berdasarkan penelitian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setidaknya terdapat 100 ekor badak di seluruh hutan Sumatera. Dari jumlah tersebut, 50 ekor diantaranya berada di hutan Aceh. hal ini tentu harus menjadi perhatian kita bersama untuk melestarikan hutan Aceh agar keberadaan badak dan ekosistem lain tetap lestari," imbau Plt Gubernur.
Namun, sambung Nova, tentu tidak mudah menjaga hutan Aceh yang begitu luas dari berbagai gangguan yang merusaknya. Salah satu ancaman yang kerap mengintai adalah kebakaran yang sering terjadi setiap musim kemarau, baik yang terjadi karena kesengajaan maupun tidak, kerap terjadi setiap tahun.
"Oleh karena itu, pertemuan ini diharapkan dapat memberikan masukan terkait penguatan tim, peralatan, sosialisasi, dan langkah-langkah preventif untuk penguatan sumber daya manusia. Semoga pertemuan ini dapat menghasilkan rumusan terkait langkah penanganan karhutla, sehingga fungsi hutan Aceh sebagai salah satu paru-paru dunia dapat kita pertahankan," pungkas Plt Gubernur Aceh.
Kelestarian alam Jaga Keseimbangan Ekologis
Sementara itu, Letjen Doni Monardo selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan, bahwa kelestarian alam akan berimbas positif bagi kelestarian ekologis. Oleh karena itu masyarakat diimbau untuk bersama menjaga kelestarian alam, salah satunya adaah dengan berhenti melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar."Membuka lahan dengan cara membakar sangat merusak lingkungan dan keseimbangan ekologis. Saya mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak lagi melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Ingat, jika kita membakar lahan, maka ekositem yang ada di dalamnya juga akan musnah, hal ini tentu sangat mengganggu keseimbangan ekologis," ujar Doni.
Doni juga mengingatkan, bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektar, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp221 triliun. Dengan langkah-langkah preventif, pemerintah akhirnya mampu menekan angka karhutla di tahun 2016, 2017 dan 2018."Tak hanya faktor kemarau, kasus karhutla tahun 2015 juga dipengaruhi oleh El Nino. Sedangkan 3 tahun berikutnya kita sedikit terbantu dengan La Nina. Namun tahun 2019 ini El Nino relatif panjang. Hal ini akan berpengaruh dengan kemarau yang semakin panjang. Oleh karena itu, sekali lagi saya ingatkan kepada semua pihak agar menghentikan tradisi membuka lahan dengan cara membakar."
Dalam kesempatan tersebut, Doni juga mengajak semua elemen masyarakat untuk menjadikan menanam pohon sebagai kegemaran baru."Banyaknya pohon akan memperluas tutupan lahan, sehingga berimbas pada menurunnya temperatur bumi. Selain itu, banyaknya pohon akan memunculkan derah tangkapan air yang akan turut meminimalisir banjir.
Doni juga mengajak masyarakat untuk mulai gemar menanam tanaman bernilai ekonomi. Di lahan gambut, sambung Doni, dapat ditanami beberapa komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti bawang, nenas, cabe, lidah buaya pinang, kopi liberica."Ada satu daerah yang dapat dijadikan sebagai contoh. Desa Sungai Tohor Tebing Tinggi Timur Kabupaten Meranti Provinsi Riau. Dahulu, desa ini merupakan daerah pengekspor asap. Kini, Desa Sungai Tohor menjadi daerah pengekspor sagu. Kabupaten ini membuktikan bahwa perubahan dapat dicapai dengan komitmen, dukungan dan kesungguhan semua pihak," pungkas Doni. (pd)