Pemerintah Aceh Diimbau Bijak Menyelesaikan Dilema Pengeboran Ilegal di Alue Canang
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Fauzi Syam, Staf Divisi Kajian Isu Energi dari Dewan Energi Mahasiswa Aceh (DEM-ACEH). [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penutupan pengeboran minyak ilegal di Desa Alue Canang, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur, oleh aparat kepolisian telah memicu gelombang protes dari masyarakat setempat.
Mereka melakukan aksi demonstrasi menolak penutupan tersebut, karena selama bertahun-tahun sumur minyak ilegal itu menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian bagi banyak warga. Situasi ini menciptakan dilema besar antara penegakan hukum dan kebutuhan ekonomi masyarakat.
Dalam menanggapi penutupan ini, Fauzi Syam, Staf Divisi Kajian Isu Energi dari Dewan Energi Mahasiswa Aceh (DEM-ACEH), menegaskan bahwa dari sudut pandang hukum, tindakan aparat kepolisian sudah sesuai prosedur.
"Apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dari aspek hukum sudah sesuai dengan ketentuan, yakni menutup sesuatu yang ilegal,” katanya kepada Dialeksis.com, Jumat (13/9/2024).
Ia merujuk pada UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa kekayaan alam, termasuk minyak dan gas, harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juga melarang praktik pengeboran minyak tanpa izin.
Namun, Fauzi juga menyoroti bahwa penutupan tersebut tidak boleh hanya dilihat dari perspektif hukum saja.
“Apa yang dilakukan masyarakat di Alue Canang ini tidak sepenuhnya salah jika kita menelaah lebih dalam lagi. Sejauh ini, pengelolaan kekayaan alam di wilayah tersebut belum mampu menyejahterakan masyarakat sekitar. Mereka tidak merasakan manfaat dari kekayaan alam yang ada di tanah mereka, sehingga mereka berinisiatif melakukan pengeboran mandiri sejak 2011,” ujarnya.
Masyarakat Aceh Timur, khususnya di Desa Alue Canang, telah bergantung pada pengeboran minyak secara ilegal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selama lebih dari satu dekade.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2022, tingkat kemiskinan di Kabupaten Aceh Timur mencapai 13,26%, dengan 2,86% dari populasi berada dalam kemiskinan ekstrem.
Kondisi ekonomi inilah yang mendorong masyarakat untuk terus melakukan pengeboran ilegal, meskipun mereka menyadari risiko yang besar, termasuk ledakan dan kebakaran yang telah beberapa kali terjadi.
Salah satu insiden terbaru pada 30 Mei 2024, misalnya, telah mengakibatkan beberapa korban jiwa.
Pemerintah Aceh sendiri seharusnya lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat dalam mengelola sumber daya alam.
Qanun Aceh No. 4 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Aceh, misalnya, sebenarnya sudah mengatur tentang pengelolaan energi di wilayah tersebut, tetapi implementasinya masih belum dirasakan oleh masyarakat setempat.
"Jika sumur minyak ini dikelola dengan baik dan melibatkan masyarakat, maka potensi ekonominya sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan warga, menekan angka kemiskinan, dan mengurangi pengangguran,” tegas Fauzi.
Meskipun masyarakat sadar bahwa kegiatan pengeboran minyak ilegal yang mereka lakukan melanggar hukum, keterbatasan mata pencaharian lain memaksa mereka untuk tetap melakukannya.
Di sekitar wilayah tersebut, lahan pertanian sudah tidak produktif lagi, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain untuk bertahan hidup.
Aktivitas pengeboran ilegal ini juga bertentangan dengan berbagai peraturan hukum, seperti UUD 1945 Pasal 33 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285.K/30/M.PE/1996 yang mengatur tentang pengusahaan minyak di sumur-sumur tua.
Selain itu, berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, setiap kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tanpa kontrak kerja sama dapat dikenakan pidana penjara hingga enam tahun dan denda maksimal Rp60 miliar.
Menyikapi situasi ini, Dewan Energi Mahasiswa Aceh (DEM-ACEH) mengharapkan pemerintah daerah dan instansi terkait dapat mengambil langkah yang bijaksana.
Mereka mengingatkan pentingnya merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 yang mengatur tentang pengelolaan bersama sumber daya minyak dan gas bumi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.
Fauzi juga menekankan perlunya percepatan penyelesaian qanun tentang pengelolaan tambang rakyat di Aceh, sehingga tambang minyak dan sumber daya alam lainnya dapat dikelola secara adil dan menguntungkan masyarakat lokal.
Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada aspek hukum, tetapi juga memikirkan solusi jangka panjang untuk memberdayakan masyarakat melalui pengelolaan sumur minyak yang lebih terstruktur, melibatkan berbagai elemen, termasuk masyarakat lokal, sehingga kekayaan alam yang ada di tanah Aceh bisa benar-benar dirasakan manfaatnya oleh semua pihak.
"Harapan kami, jika pemerintah bisa mengelola sumur minyak tersebut dengan baik, maka ini bisa menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat Aceh Timur. Namun, menutupnya tanpa mempertimbangkan aspek kesejahteraan ekonomi hanya akan memperparah kondisi kemiskinan dan pengangguran di wilayah tersebut,” pungkasnya. [nh]