Pemerintah Aceh Disebut Lupa Fungsi, Sering Minta Dilayani Ketimbang Melayani
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr Dahlawi MSi. [Foto: For Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Provinsi Aceh pada tahun 2023-2027 akan dihadapkan pada kenyataan berkurangnya transfer Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang semula dari 2 persen menjadi 1 persen Dana Alokasi Umum (DAU).
Dampak dari berkurangnya dana otsus ini, oleh Pemerintah Aceh menyikapinya dengan melakukan berbagai pembahasan, baik itu dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) maupun dalam bentuk musyawarah rencana pembangunan Aceh ke depan.
Ihwal pembentukan berbagai diskusi yang diinisiasi oleh Pemerintah Aceh membahas soal otsus ialah untuk mencari titik terang sekaligus merumuskan bagaimana strategi pembangunan yang tepat di tengah kondisi berkurangnya dana otsus untuk Provinsi Aceh.
Kemarin, pada hari Selasa, 29 Maret 2022, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Aceh HT Ahmad Dadek yang hadir mewakili Gubernur Aceh Nova Iriansyah dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tahun 2023 Kabupaten Aceh Singkil sempat menuturkan agar daerah kabupaten/kota bisa mencari dana tambahan untuk menambal kekurangan dari otsus Aceh.
Akan tetapi, tuturan yang disampaikan oleh HT Ahmad Dadek disebut kontra-narasi dengan faktor lapangan oleh Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr Dahlawi MSi. Soalnya, kata dia, bagaimana bisa mengharapkan tambahan pemasukan daerah sedangkan di saat otsus sebesar 2 persen DAU saja tidak tersedot habis untuk kepentingan publik, malah habis untuk kepentingan pemerintahan.
Secara terus terang, Dahlawi mengatakan, harapan yang disampaikan oleh Kepala Bappeda Aceh agar pemerintah kabupaten/kota bisa mencari sumber pendapatan lain, dalam artian tidak bergantung pada dana otsus, ialah upaya lepas tangan dari provinsi.
“Pemerintah provinsi saja tidak melakukan apa-apa dengan struktur anggaran yang besar yang sebenarnya banyak dikelola oleh pemerintah provinsi. Apalagi nanti diharapkan kepada pemerintah kabupaten/kota,” ujar Dahlawi kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Jumat (1/4/2022).
Menurut Dahlawi, pemerintah kabupaten/kota terbatas power untuk bisa mencari sumber dana lain. Semisal, untuk masalah investasi saja tidak secara serta merta oleh pihak kabupaten/kota bisa memutuskan kebijakan. Karena soal izin-perizinan korelasinya kembali ke pemerintah provinsi.
Dahlawi melanjutkan, bercermin pada pengalaman tahunan, pemerintah provinsi jarang sekali memberi perhatian lebih kepada daerah-daerah yang notabenenya memiliki potensi tambahan ekonomi.
Semisal, kata dia, seperti luasnya lahan kelapa sawit di Barat Selatan Aceh. Kemudian potensi kopi di Aceh Tengah. Lalu potensi cengkeh yang ada di Simeulue serta potensi perikanan yang hampir dimiliki oleh seluruh lautan Aceh.
Akan tetapi, kata dia, dengan berbagai potensi kekayaan dari sumber daya alam yang dimiliki Aceh, oleh pemerintah provinsi kurang menaruh perhatian lebih. “(Pemerintah provinsi) Tidak melakukan suatu upaya yang memang dijadikan semacam prioritas pembangunan di daerah yang bisa mendukung peningkatan ekonomi Rakyat Aceh,” ungkap Dahlawi.
Membaca struktur anggaran Pemerintah Aceh tahun 2022, Dahlawi mengatakan, antara belanja kepegawaian dengan belanja modal perbandingannya 9:1. Sehingga dengan tolak ukur demikian, sangat sulit untuk mengharapkan adanya penambahan pendapatan daerah.
Pada kesempatan yang sama, Dahlawi menuturkan bahwa argumentasi yang umum disampaikan oleh kalangan pejabat publik ke rakyat Aceh hanyalah sebatas formalitas saja. Di satu sisi pemerintah sering menyinggung akan mendongkrak perekonomian rakyat, tapi di sisi yang lain, apa yang disampaikan ke publik hampir tidak ada yang dilakukan.
Dengan nada satire, Dahlawi mengatakan, pemerintah Aceh hari ini lebih baik jadi pemerintah administrasi saja, jangan lagi jadi pemerintah yang otonom. “Pemerintah otonom ialah pemerintah yang mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Yang bisa cari keuangannya sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Dahlawi, adanya ketimpangan harap-mengharap dari pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota soal tambahan pendapatan daerah disebabkan karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak bekerja sebagaimana fungsinya.
DPR se-Aceh sekarang, kata Dahlawi, lebih sibuk mengurusi dana aspirasi dewan atau pokok-pokok pikiran (Pokir) ketimbang fokus pada fungsi pengawasan.
Selain kritik pemerintahan yang disampaikan, Akademisi USK Banda Aceh itu juga menawarkan solusi untuk konsep pemerintahan yang otonom. Menurutnya, sebuah daerah baru bisa mandiri apabila para pejabat negara di tingkat provinsi dan kabupaten/kota duduk merembuk dan bermufakat bersama untuk menentukan prioritas dan cara mengelola potensi-potensi alam yang ada di setiap kabupaten/kota se-Aceh.
Kemudian, lanjut dia, akses izin-perizinan yang berkaitan dengan investasi kelas kabupaten/kota lebih dipermudah. Lalu, koordinasi antara provinsi dengan daerah juga harus ditingkatkan, dimusyawarahkan dan saling support serta saling memahami.
Menurut Dahlawi, hal utama yang harus ditanam dalam diri penyelenggara negara ialah memahami betul fungsinya sebagai penyelenggara negara. Penyelenggara negara berfungsi memberi pelayanan, bukan minta dilayani.
“Kalau kita lihat, banyak sekali fungsi minta dilayani. Sekda marah-marah ke Kepala Dinas, Kepala Dinas juga marah-marah ke bawah. Bukan itu yang diinginkan, tapi coba bangun konsep. Apalagi konsep ekonomi yang berkaitan dengan pengurangan dana otsus ke depan,” pungkasnya.(Akhyar)